Rabu, 18 Mei 2011

PERAN KELEMBAGAAN DALAM AQUABISNIS RUMPUT LAUT

Oleh : Cocon, S.Pi

Kita tahu bahwa Kegiatan usaha pada sektor Kelautan dan Perikanan khususnya sub sektor perikanan budidaya merupakan kegiatan mikro yang mampu menyentuh peran pemberdayaan masyarakat secara luas dan diharapkan akan mampu menjadi penggerak pilar pertumbuhan ekonomi nasional yaitu Pro-poor, Pro-job, dan Pro-growth , sehingga dalam perjalannya tidak dapat dipungkiri bahwa perlu upaya untuk membangun sebuah siklus aquabisnis yang berkelanjutan. Minapolitan sebagai konsep pengembangan ekonomi kawasan berbasis Perikanan dan Kelautan yang menjadi kebijakan strategis pemerintah saat ini, diharapkan akan mampu mendorong jalannya siklus aquabisnis tersebut. Konsep ini akan berjalan dengan baik jika seluruh aspek penggerak siklus aquabisnis mampu dibangun secara efektif. Pencapaian produksi dan kapasitas usaha akan mampu dicapai jika para pelaku utama maupun pelaku usaha secara ekonomi mampu mencapai titik optimal dari kelayakan usaha. Sedangkan kelayakan usaha tentunya sangat bergantung pada jalannya subsistem-subsistem yang saling berinteraksi mulai dari kegitatan di hulu (on farm) sampai kegiatan di hilir (off farm), hal ini karena keberadaan subsistem dalam siklus yang berjalan secara efektif akan mampu meningkatkan efesiensi produksi.

Pencapaian Produksi Terlampaui, Masalah Rantai Pasok masih mendera

Produksi rumput laut Nasional sampai saat ini memperlihatkan trend kenaikan yang siginifikan sebuah keberhasilan tentunya yang diperlihatkan pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan. Tahun 2010 produksi Nasional mencapai 3.082.113 ton mengalami kenaikan rata-rata sebesar 23% per tahun. Nilai ini mampu melampaui target/sasaran produksi Tahun 2010 sebesar 115,3 % dari target sebesar 2.672.800 ton. Artinya langkah menuju target 10 juta ton di Tahun 2014 sangat optimis tercapai.

Sayangnya pencapaian produksi di atas belum sepenuhnya diimbangi oleh mulusnya perputaran rantai pasok pada sebagian kawasan pengembangan. Kondisi rantai pasok hasil produksi rumput laut masih menjadi permasalahan yang berpotensi menghambat jalannya siklus aquabisnis rumput laut. Kondisi ini secara umum masih terjadi di beberapa kawasan sentral produksi rumput laut. Terjadinya Inkonsistensi yang mencakup Jaminan kontinyuitas penyerapan produksi, stabilitas harga dan jaminan kualitas produksi masih menjadi penghambat mata rantai produksi, dimana fenomena ini terjadi karena masih cukup peliknya permasalahan pasar di level zona I (pembudidaya) dan zona II (pengepul). Kondisi ini ditambah karena belum terbangunnya kesadaran dan komitmen para pelaku dalam melihat permasalahan secara berimbang padahal sesungguhnya jaminan keberlangsungan kegiatan di hulu (on farm) sejatinya tidak bisa lepas dari pengaruh kegiatan di hilir (off farm). Jika kegiatan dihilir terhambat sebagai akibat tidak ada jaminan kualitas dari hulu, lalu bagaimana dengan jaminan penyerapan produk yang dihasilkan pembudidaya,..?. Salah seorang Purchasing Manager di salah satu industri nasional pengolah untuk bahan baku food grade, sempat mengeluhkan perihal jaminan kualitas produksi serta persaingan pasar yang kurang sehat terutama di lokasi budidaya terlebih secara umum harga pasar saat ini dikendalikan oleh para eksportir Dry Eucheuma Seaweed (DES), parahnya lagi masih banyaknya spekulan yang berkeliaran padahal harga tersebut kadangkala melebihi harga normal dan tidak sebanding dengan biaya produksi yang dikeluarkan. Lalu bagaimana dengan jaminan pasokan DES ke Industri ? sudah barang tentu akan terhambat, padahal industri sendiri perlu jaminan kontiyuitas raw material yang sesuai standar, tuturnya.

Penguatan Kelembagaan sebagai solusi

Kenapa Kelembagaan yang penulis tekankan, dan apa pula hubungannya dengan siklus aquabisnis ? Menurut Hermanto dan Subowo, 2006 membedakan bahwa secara empiris kelembagaan dapat dibedakan, antara lain: (1) kelembagaan sosial nonbisnis yang merupakan lembaga yang mendukung penciptaan teknologi, penyampaian teknologi, penggunaan teknologi dan pengerahan partisipasi masyarakat, seperti lembaga penelitian, penyuluhan, kelompok tani dan sebagainya, dan (2) lembaga bisnis penunjang yang merupakan lembaga yang bertujuan mencari keuntungan, seperti koperasi, usaha perorangan, usaha jasa keuangan dan sebagainya. Nah, ke-dua jenis kelembagaan inilah sesungguhnya yang harus menjadi isyu penting dalam upaya menggerakan siklus aquabisnis, jika kelembagaan ini mampu berjalan secara efektif sangat mungkin permasalahan yang saat ini masih mendera tidak lagi menjadi momok menakutkan bagi pelaku usaha.

Kelembagaan mempunyai arti luas yang mencakup aturan main, kode etik, sikap dan tingkah laku seseorang, organisasi atau suatu sistem. Inilah yang menurut penulis faktor kelembagaan menjadi bagian penting dalam upaya menata siklus aquabisnis rumput laut. Hal ini karena tidak dapat dipungkiri ternyata aquabisnis rumput laut masih menyisakan permasalahan baik pada kegiatan hulu (on farm) maupun di hilir (off farm). Jika diibaratkan kegiatan usaha merupakan sebuah rantai, maka kondisi saat ini menunjukkan performa mata rantai yang kurang baik, sehingga antar subsistem belum mampu berjalan dan berinteraksi secara baik dan berkelanjutan.

Jika penulis melakukan pengelompokan maka sebenarnya permasalahan tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor sosial dan ekonomi dari para pelaku. Faktor sosial akan erat kaitannya dengan pola pikir, etika, tradisi, dan prestice sedangkan faktor ekonomi berkaitan dengan kebutuhan dana dan kelayakan usaha. Dalam memenuhi tuntutan tersebut sangat tidak mungkin tercapai jika pelaku berjalan sendiri-sendiri, kondisi ini berkaitan dengan Fitrah manusia sebagai makhluk sosial. Yang jadi pertanyaan bagaimana menjadikan dua faktor tersebut berjalan secara sinergi dan berkesinambungan,..??. Langkah kebijakan yang paling strategis adalah melalui pengembangan kelembagaan baik kelembagaan kelompok maupun kelembagaan penunjang sebagai representasi dari kebutuhan dan aspirasi masyarakat pembudidaya. Melalui kelembagaan maka akan terbangun aturan yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama, hak dan kewajiban anggota, mampu mengatur kode etik, membangun kontrak melalui pola kemitraan, informasi pasar dan teknologi, serta membangun link pasar yang berkelanjutan. Dari semua fenomena yang terjadi, maka akar permasalahan yang sangat penting adalah karena belum terbangunnya sistem kelembagaan yang kuat dan mandiri pada kawasan pengembangan rumput laut.

Sejarah menunjukkan bahwa di negara-negara maju, kelembagaan yang baik akan mampu mendorong tumbuh kembangnya kegiatan bisnis dan pembangunan secara umum. Sudah bukan rahasia umum, bahwa aquabisnis rumput laut yang dikelola dengan baik telah memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat baik sebagai modal ekonomi (economic capital) khususnya dalam penyediaan kebutuhan hidup, modal alam (natural capital) dalam penyediaan produk-produk primer, modal finansial (financial capital) pemenuhan kebutuhan akan keuangan, dan modal sosial (social capital) sebagai penyedia lapangan pekerjaan bagi masyarakat pesisir. Ke-lima modal diatas tentunya akan mampu dicapai melalui kerjasama sinergi yang didasarkan oleh rasa tanggungjawab (responsibility), komitmen, kesamaan kebutuhan dan kepercayaan (trust). Pada akhirnya satu-satunya jalan untuk mewadahi hal tersebut di atas adalah melalui pengembangan kelembagaan, sehingga kelembagaan mestinya sudah harus menjadi isyu penting dalam pembangunan perikanan budidaya yang berkelanjutan

Kelembagaan yang ada masih rapuh

Memang pada beberapa kawasan pengembangan sudah terbentuk sebuah kelembagaan baik Kelompok Pembudidaya maupun kelembagaan penunjang namun jika kita analisa keberadaannya masih sangat lemah. Kerapuhan tersebut secara umum ditunjukkan oleh tidak efektifnya peran kepemimpinan sebagai penggerak dan penyeimbang proses dinamika kelompok, peran advokasi dan pendampingan yang kurang berjalan dengan efektif serta faktor kompetensi sumberdaya manusia yang minim.

Sejatinya sebuah kelembagaan penunjang menjadi unsur penting dalam menjamin perputaran mata rantai siklus aquabisnis rumput laut. Koperasi sebagai bentuk demokrasi ekonomi Indonesia telah terbukti mampu menumbuhkembangkan pergerakan ekomoni masyarakat. Sayangnya, koperasi dibeberapa daerah masih belum mewakili kebutuhan/kepentingan anggota, artinya Ruh koperasi belum tertanam dalam wadah organisasi tersebut. Koperasi yang dikelola secara profesional akan menjamin keberlanjutan usaha yang dijalankan oleh anggota karena secara langsung akan berpengaruh terhadap peningkatan bargaining position hasil produksi, jaminan kualitas, jaminan pasar dan stabilitas harga.

Penulis ambil contoh, sebuah lembaga keuangan mikro lokal yang telah mampu membuktikan efektifitasnya dan diharapkan dapat menjadi contoh bagi kawasan lain, salah satunya adalah Unit Pengelola Keuangan (UPK) Hidayatullah yang ada di Kecamatan Sapeken Desa Tanjung Keok Kabupaten Sumenep. Lembaga yang dikelola secara syariah ini telah mampu menopang keberlanjutan usaha budidaya rumput laut masyarakat sekitar. Peran sentral pelaku di zona II terlihat cukup efektif, sehingga melalui payung kelembagaan ini kegiatan produksi berjalan dengan baik. Bentuk dukungan bukan hanya dalam pendanaan namun yang tidak kalah penting adalah melalui peran pendampingan dan pendekatan moral yang dilakukan secara efektif dan berkelanjutan. Langkah ini sangat efektif karena lambat laun akan menanamkan kepercayaan (trust) sehingga akan mampu membangun ikatan moral yang kuat antar stakeholder, jika ini sudah terbangun, maka permasalahan di atas sudah barang tentu akan mampu dihindari.

Melihat efektifitas peran kelembagaan dalam menjamin jalannya siklus aquabisnis rumput laut, maka sudah saatnya pada seluruh kawasan pengembangan budidaya rumput laut dibangun sebuah kelembagaan yang kuat baik itu kelembagaan non-bisnis maupun kelembagaan bisnis. Kelembagaan penunjang, misalnya koperasi yang dikelola secara profesional pada kawasan pengembangan budidaya rumput laut akan menjamin pergerakan mata rantai (suplly chain) pada setiap unit produksi dengan begitu secara langsung akan mempengaruhi terhadap peningkatan efektifitas dan efisiensi jalannya siklus aquabisnis rumput laut secara berkelanjutan.

Memperkuat Peran Pendampingan dan Penyuluhan di Daerah

Bagaimana membangun kelembagaan,,? Kebijakan yang harus menjadi fokus implementasi adalah peran pendampingan maupun penyuluhan. Peran pendampingan yang profesional sangat dituntut dalam membangun kelembagaan yang kuat dan mandiri. Penyuluh bukan hanya sekedar menampung permasalahan yang ada, tetapi penyuluh profesional seyogyannya mampu menjadi mitra, motivator, fasilitator dan dinamisator bagi pelaku utama. Peran advokasi dari penyuluh sangat diharapkan dalam membangun sebuah kelembagaan yang profesional di kawasan pengembangan budidaya.

Citra diri positif seorang penyuluh perikanan di mata masyarakat pembudidaya sudah saatnya ditanamkan dengan membangun paradigma baru, bahwa penyuluh merupakan “ujung tombak perikanan” sudah sepantasnya mempunyai keunggulan kompetitif dan profesionalisme yang tinggi sebagai mitra pelaku utama terlebih jika dikaitkan dengan visi misi Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk menjadikan Indonesia sebagai penghasil produk perikanan dan kelautan terbesar di dunia Tahun 2015. Perikanan Jaya,..!! Sejahtera Rakyatku...!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkunjung ke blog kami untuk melihat informasi seputar sumberdaya rumput laut di Kabupaten Jepara