Selasa, 16 Agustus 2011

STATUS RUMPUT LAUT INDONESIA


STATUS RUMPUT LAUT INDONESIA
PELUANG DAN TANTANGAN


Oleh : Cocon, S.Pi*)


Sebagai bagian dari Coral Triangel, Indonesia memang disuguhi begitu besar potensi perairan dengan segenap sumberdaya dan keanekaragaman hayati yang ada. Rumput laut salah satu komoditas yang saat ini menjadi trend di pasar perdagangan global pun mampu tumbuh subur di perairan bumi pertiwi ini. Sumber dari SEAplant.net menyebutkan bahwa perairan Indonesia hampir menguasai 65 % potensi perairan coral tri angel yang potensial untuk tumbuh kembangnya berbagai jenis rumput laut khususnya jenis Kappaphycus alvarezii, jauh mengungguli potensi negara-negara lainnya yaitu berturut-turut Philipina sebesar 15%, Kepulauan Solomon 7%, Malaysia 5%, Papua Nugini 5% dan Timor Leste sebesar 1%. Berbagai jenis rumput laut ekonomis tinggi dan telah berhasil dibudidayakan di Perairan Indonesia secara umum berasal dari jenis alga merah (Rhodophyceae) antara lain Eucheuma cottonii / Kappaphycus alvarezii doty, E. Spinosum, dan Gracilaria sp; Ptylopora dan Halymenia sp

Dari aspek pasar menunjukan bahwa perkembangan pasar rumput laut di perdagangan global menunjukkan trend kenaikan yang cukup tinggi, seiiring dengan peningkatan kebutuhan bahan baku industri baik untuk food grade, pharmaeutical maupun industryal grade. Pertumbuhan penduduk dunia yang semakin pesat dan Kompleksitas nilai guna rumput laut yang begitu besar sebagai penunjang kebutuhan hidup masyarakat dunia, maka tidak heran memang jika saat ini rumput laut menjadi komoditas yang prospektif dan telah menjadi bagian dari kebutuhan global. Betapa tidak sejak kita bangun tidur sampai pada saat melakukan aktivitas, sebenarnya kita telah terbiasa menggunakan produk berbahan baku rumput laut.

Indonesia memanfaatkan peluang

Membangun sebuah cita-cita memang harus bermula dari mimpi besar, sejatinya itulah yang saat ini sudah mulai dibangun Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementrian Kelautan dan Perikanan melalui penetapan Visi menjadikan Indonesia sebagai penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar dunia tahun 2015. Visi yang oleh beberapa kalangan dianggap terlalu ambisius. Ya, mungkin itu persepsi dari sebagian masyarakat awam yang memandangnya sebagai sesuatu hal yang maustahil mampu dicapai. Namun demikian, satu hal yang perlu dicatat, bahwa sejak orientasi arah pembangunan saat ini mulai digerakan terhadap pendekatan pembangunan wilayah kepulauan (islands development approaches), maka sudah saatnya pembangunan berbasis Kelautan dan Perikanan menjadi tumpuan utama dalam rangka membangun pergerakan ekonomi nasional. Indonesai dengan segenap potensi sumberdaya kelautan dan perikanan, memang menjadi senjata ampuh dalam upaya pencapaian visi tersebut. Dengan potensi pengembangan budidaya air laut sebesar 8,4 juta hektar, bukan hal mustahil mimpi besar itu mampu dicapai jika semua elemen bangsa mempunyai mimpi besar yang sama yang terimplementasi melalui kerjasama sinergi dalam upaya memanfaatkan sumberdaya perairan yang ada.

Dalam upaya pencapaian Visi dan Misi tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menetapkan komoditas unggulan yang menjadi sasaran utama, dimana komoditas rumput laut menjadi salah satu ikon yang diharapkan mampu mewujudkan mimpi besar Indonesia. Tahun ini Indonesia mampu menggeser pesaing utamanya Philipina sebagai produsen rumput laut terbesar dunia dengan total produksi di Tahun 2010 mencapai 3.082.113 ton atau menguasai sekitar 50% produk rumput laut hasil budidaya di dunia yaitu untuk jenis Eucheuma, Gracilaria dan Kappaphycus. Sebuah keberhasilan tentunya yang diperlihatkan pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Bicara peluang terhadap pasar perdagangan rumput laut dunia, Indonesia berada pada posisi yang mempunyai peluang besar dalam memasok kebutuhan bahan baku rumput laut. Sebagai gambaran Tahun 2010 peluang kebutuhan rumput laut Eucheuma cottonii dunia mencapai 274.100 ton, dimana Indonesia mempunyai peluang memberikan kontribusi ekspor sebesar 80.000 ton atau sekitar 29,19% , sedangkan peluang kebutuhan dunia akan rumput laut jenis Gracilaria sp mencapai 116.000 ton, dimana Indonesia mempunyai peluang kontribusi sebesar 57.500 atau sekitar 49,57% (sumber : BPPT dan ISS, 2006).

Proyeksi dan pencapaian produksi rumput laut Indonesia

Jika mengacu pada visi dan misi Kementerian Kelautan dan Perikanan, maka hal yang paling mungkin untuk didorong peningkatannya dalam upaya pencapaian target tersebut adalah sub sektor perikanan budidaya. Inilah, yang saat ini menjadi Pekerrjaan Rumah yang besar bagi Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya dalam upaya menopang terwujudnya mimpi besar Indonesia sebagai penghasil produk perikanan terbesar dunia. Ditjen Perikanan Budidaya telah menetapkan adanya target pencaiapan produksi sebesar 353% sampai dengan tahun 2014 khususnya bagi komoditas yang menjadi unggulan saat ini, dimana rumput laut menjadi penyumbang besar target pencapaian produksi tersebut yaitu ditargetkan peningkatannya sebesar 10 juta ton di Tahun 2014 .

Produksi rumput laut diproyeksikan rata-rata meningkat pertahun sebesar 32 % (dari Tahun 2010-2014) atau meningkat sebesar 392% dari Tahun 2009 ke Tahun 2014. Proyeksi tersebut masing-masing berturut-turut Tahun 2009 diproyeksikan meningkat menjadi sebesar 2.574.000, Tahun 2010 sebesar 2.672.800 ton, Tahun 2011 sebesar 3.504.200 ton, Tahun 2012 sebesar 5.100.000 ton, tahun 2013 sebesar 7.500.000 ton dan Tahun 2014 sebesar 10 juta ton. Data statistik menunjukkan bahwa Tahun 2010 produksi rumput laut Nasional mencapai 3.082.113 ton mengalami kenaikan rata-rata sebesar 23% per tahun. Nilai ini mampu melampaui target/sasaran produksi Tahun 2010 sebesar 15 % dari target di Tahun yang sama sebesar 2.672.800 ton. Nilai tersebut tentunya menjadi salah satu indikator bahwa langkah menuju target 10 juta ton di Tahun 2014 sangat optimis untuk dicapai. Total produksi rumput nasional tersebut masih didominasi oleh 5 (lima) besar Provinsi utama penghasil rumput laut berturut-turut Sulawesi Selatan, NTT, Bali, Sulawesi Tengah dan NTB.

Peningkatan produksi rumput laut Nasional diiringi pula oleh peningkatan volume dan nilai ekspor rumput laut Indonesia ke berbagai negara tujuan utama ekspor seperti China, Philipina, Vietnam, Hongkong dan Korsel. Perkembangan volume dan nilai ekspor dalam kurun waktu Tahun 2005 sampai dengan Tahun 2010 secara umum mengalami kenaikan. Tahun 2010 volume ekspor rumput laut Indonesia (rumput laut kering, karaginan dan agar) mencapai 126.177.521 kg meningkat sebesar 34% dari tahun sebelumnya yang mencapai angka 94.002.964 kg. Sedangkan nilai ekspor Tahun 2010 mencapai sebesar 155.619.562 US$ meningkat 77 % Jika dibandingkan dari total nilai ekspor tahun sebelumnya yang mencapai 87.773.297 US$ (Sumber : Statistik Ekspor-Impor Produk Perikanan tahun 2010). Sebagai gambaran bahwa peluang kebutuhan hydrokoloid dunia sampai dengan Tahun 2010 untuk produk karaginan (RC) mencapai 31.800 ton sedangkan untuk agar mencapai 18.120 (Sumber: Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 2006). Nilai tersebut diprediksi akan mengalami kenaikan secara signifikan seiring semakin pesatnya pertumbuhan penduduk dunia yang sudah barang tentu diiringi oleh semakin tingginya tuntutan kebutuhan hidup masyarakat.

Staregi dasar pencapaian peningkatan produksi rumput laut

Upaya pemanfaatan potensi sumberdaya rumput laut Indonesia sebagai bentuk konkrit dalam rangka mewujudkan target pencapaian produksi, memang menjadi pekerjaan rumah bersama yang harus segera diselesaikan melalui kerjasama sinergi antara stakeholders yang terlibat. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya dalam hal ini telah menetapkan strategi dasar sebagai upaya mengoptimalkan pemanfaatan potensi dan pengembangan kawasan budidaya rumput laut di Indonesia.

Startegi dasar tersebut meliputi : 1). Kebijakan Ektensifikasi, diarahkan dalam upaya memperluas dan mengembangkan jumlah unit lahan budidaya, khususnya pada kawasan-kawasan startegis dan potensial untuk pengembangan rumput laut di Indonesia; 2). Kebijakan Intensifikasi, diarahkan dalam upaya mengembangkan input teknologi budidaya yang secara langsung berdampak terhadap peningkatan jumlah unit budidaya dan kapasitas produksi; 3). Kebijakan Diversifakasi, diarahkan dalam upaya memperkenalkan dan mengembangkan jenis-jenis rumput laut komersial yang mempunyai nilai ekonomis dan peluang pasar yang luas. Melalui UPT Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, saat ini telah mampu memperkenalkan dan membudidayakan jenis rumput laut baru selain Kappaphycus alvarezii, antara lain Ptylopora sebagai bahan baku kertas yang telah berhasil dikembangkan di Bali dan Lombok, Halymenia sp sebagai penghasil lamba karaginan dan telah berhasil di budidayakan di Bali dan NTT (Kabupaten Rote Ndao). Jenis baru ini diharapkan akan mampu dikembangkan di Perairan lain di Indonesia melalui alih terap teknologi budidaya terhadap masyarakat pembudidaya.

Melihat rumput laut menjadi komoditas unggulan nasional dan telah secara nyata mampu menggerakan ekonomi lokal, regional dan nasional serta menjadi salah satu kegiatan usaha yang mampu menyentuh peran pemberdayaan masyarakat secara luas, maka kebijakan industrialisasi rumput laut saat ini telah menjadi issue penting dan telah ditindak lanjuti melalui nota kesepahaman mengenai pengembangaan kawasan budidaya dan industri rumput laut di 7 Propinsi yakni Propinsi NTT, NTB, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan. Nota kesepahamn tersebut dibangun dengan melibatkan 6 lembaga/kementerian yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian PDT, Kementeria Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan UMKM, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Strategi pengembangan teknologi berbasis mutu dan keamanan pangan (food safety)

Pencaiapan target peningkatan produksi rumput laut, bukan berarti dalam perjalanannya tidak mengalami kendala, namun demikian pada kenyataanya kendala tersebut seringkali muncul dan berpotensi menghambat proses pengembangan rumput laut Indonesia. Permasalahan utama yang saat ini dihadapi terkait : 1) permasalahan ketersediaan bibit bermutu dimana saat ini mulai terjadi degradasi kualitas bibit pada beberapa kawasan budidaya; 2) permasalahan jaminan mutu hasil produksi budidaya yang berpotensi mengganggu rantai pasok (suplly chain) rumput laut; 3) Penerapan teknologi belum yang sepenuhnya menerapkan terwujudnya quality assurance, apalagi food safety, dan traceability ; 4) permasalahan terhadap pengendalian hama penyakit maupun dampak lingkungan perairan yang fluktuatif.

Dalam upaya menjawab permasalahan teknologi budidaya di atas, Ditjen Perikanan Budidaya telah melakukan langkah kebijakan konkrit yang secara langsung menopang terhadap peningkatan produksi rumput laut, antara lain:

Pertama, penerapan teknologi budidaya berkelanjutan melalui penerapan prinsip-prinsip Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB) pasa setiap proses produksi. Direktorat Produksi Tahun 2010 telah membuat acuan penerapan pelaksanaan CBIB serta petunjuk teknis penilaian sertifikasi CBIB budidaya rumput laut, sehingga diharapkan ke depan telah mulai berkembang unit usaha budidaya rumput laut yang tersertifikasi.

Kedua, Penyediaan bibit rumput laut yang berkualitas, melalui pengembangan kebun bibit rumput laut di kawasan sentral budidaya rumput laut serta kebijakan alokasi subsidi bibit rumput laut.

Ketiga, Pembinaan intensif secara berkelanjutan baik teknis maupun non teknis. Upaya tersebut dalam bentuk monitoring, evaluasi, kegiatan temu lapang, serta kegiatan lain yang secara langsung mendukung aktivitas usaha budidaya;

Ke-empat, Dukungan dana penguatan modal, upaya tersebut melalui alokasi DPM, Paket Wirausaha, subsidi benih ,PUMP, , peluncuran skame kredit semisal KUR dan KPPE. Dimana upaya tersebut dalam rangka memberikan stimulan yang secara langsung mendukung peningkatan kapasitas usaha Pokdakan rumput laut;

Ke-lima, Pengembangan kawasan pembudidayaan secara bertahap , yaitu melalui pengembangan kawasan minapolitan budidaya, membangun pendekatan akuabisnis serta mendorong terbangunya pola kemitraan usaha yang berkelanjutan. Ditjen Perikanan Budidaya telah menetapkan 24 Kabupaten/Kota sebagai sasaran percontohan minapolitan budidaya, dimana sebanyaak 6 Kabupaten Kota diarahkan untuk pengembangan rumput laut yakni Kabupaten Serang (Banten), Kabupaten Pandeglang (Banten), Kabupaten Sumbawa (NTB), Kabupaten Sumba Timur (NTT), Kabupaten Morowali (Sulawesi Tengah), Kabupaten Pahuwato (Gorontalo)

Ke-enam, membangun kerjasama, sinergitas, persamaan persepsi dan tanggungjawab bersama antara seluruh stakeholders dalam upaya pengembangan rumput laut nasional melalui kegiatan Forum Budidaya Rumput laut. Direktorat Produksi telah menetapkan kegiatan “Forum Rumput Laut Nasional” sebagai agenda tahunan. Dimana hasil rumusan kegiatan tersebut diharapkan akan menjadi bahan acuan dan rekomendasi dalam menentukan langkah kebijakan strategis bagi pengembangan rumput laut Nasional. Tahun 2010 telah diselenggarakan Forum Rumput Laut di Propinsi Bali dengan fokus terhadap upaya pengembangan jenis rumput laut Halymenia sp, sedangkan Tahun 2012 Forum Rumput Laut Nasional direncanakan dilaksanakan di Propinsi NTB dimana diharapkan akan mampu menjawab peluang, tantangan dan permasalahan bisnis perumput lautan Indonesia.

Produksi VS rantai pasok (suplly chain)

Pencapaian produksi yang menjadi kinerja Ditjen Perikanan Budidaya, ternyata belum sepenuhnya diimbangi oleh mulusnya perputaran rantai pasok pada sebagian kawasan pengembangan. Kondisi rantai pasok hasil produksi rumput laut masih menjadi permasalahan yang berpotensi menghambat jalannya siklus aquabisnis rumput laut. Kondisi ini secara umum masih terjadi di beberapa kawasan sentral produksi rumput laut. Masih adanya Inkonsistensi yang mencakup Jaminan kontinyuitas penyerapan produksi, stabilitas harga dan jaminan kualitas produksi masih menjadi penghambat mata rantai produksi, dimana fenomena ini terjadi karena masih munculnya permasalahan pasar di level zona I (pembudidaya) dan zona II (pengepul). Beberapa industri nasional mengaku bahwa saat ini seringkali terjadi kompetisi pasar yang tidak sehat, dimana saat ini harga pasar masih dikendalikan pihak eksportir yang lebih parah dengan masuknya para spekulan yang masuk dan melakukan pembelian langsung di tingkat pembudidaya. Kondisi ini berpotensi industri nasional akan sulit bersaing dalam melakukan penyerapan produk dari hulu.

Kebijakan pembatasan ekspor rumput laut dalam bentuk raw material merupakan langkah baik, namun demikian sejatinya pembatasan ekspor rumput laut tersebut hendaknya diimbangi oleh kemampuan penyerapan bahan baku oleh Industri Nasional. Langkah awal yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan pemetaan kebutuhan bahan baku rumput laut serta jumlah/kemampuan industri nasional dalam melakukan penyerapan produksi dari pembudidaya. Upaya tersebut dalam rangka menjamin keseimbangan antara produksi yang dihasilkan pembudidaya (hulu) dengan jaminan penyerapan produksi yang ada di hilir (industri). Disamping itu Industri Nasional perlu didorong agar pro aktif melakukan kontrol langsung terhadap spesifikasi mutu yang dihasilkan pembudidaya. Konsep iPasar yang diharapkan mampu menjawab permasalahan rantai pasok rumput laut Indonesia perlu segera diiplementasikan terutama di sentra-sentra produksi rumput laut, langkah awal yang perlu dilakukan adalah melakukan sosialisasi secara menyeluruh terhadap stakeholders terkait mekanisme dan konsep iPasar sehingga diharapkan akan terbangun persamaan persepsi guna menghindari image negatif di kalangan pelaku usaha terkait peran iPasar.

Pentingnya Kelembagaan dalam aquabisnis rumput laut

Kenapa Kelembagaan yang penulis tekankan, dan apa pula hubungannya dengan siklus aquabisnis ? Menurut Hermanto dan Subowo, 2006 membedakan bahwa secara empiris kelembagaan dapat dibedakan, antara lain: (1) kelembagaan sosial nonbisnis yang merupakan lembaga yang mendukung penciptaan teknologi, penyampaian teknologi, penggunaan teknologi dan pengerahan partisipasi masyarakat, seperti lembaga penelitian, penyuluhan, kelompok tani dan sebagainya, dan (2) lembaga bisnis penunjang yang merupakan lembaga yang bertujuan mencari keuntungan, seperti koperasi, usaha perorangan, usaha jasa keuangan dan sebagainya. Kelembagaan sendiri mempunyai arti luas yang mencakup aturan main, kode etik, sikap dan tingkah laku seseorang, organisasi atau suatu sistem. Nah, ke-dua jenis kelembagaan inilah sesungguhnya yang harus menjadi isyu penting dalam upaya menggerakan siklus aquabisnis rumput laut yang berkelanjutan, jika kelembagaan ini mampu berjalan secara efektif sangat mungkin permasalahan yang saat ini masih mendera tidak lagi menjadi penghambat bagi keberlangsungan usaha dari para pelaku.

Melalui kelembagaan maka akan terbangun aturan yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama, hak dan kewajiban anggota, mampu mengatur kode etik, membangun kontrak melalui pola kemitraan yang berkelanjutan, informasi pasar dan teknologi, serta membangun link pasar yang berkelanjutan. Pelaku yang tergabung dalam kelembagaan yang kuat sudah sejatinya akan mempunyai pola pikir yang maju (visioner) serta mampu beradaptasi dalam menghadapi proses dinamika kelompok.

Sejarah menunjukkan bahwa di negara-negara maju, kelembagaan yang baik akan mampu mendorong tumbuh kembangnya kegiatan bisnis dan pembangunan secara umum. Sudah bukan rahasia umum, bahwa aquabisnis rumput laut yang dikelola dengan baik telah memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat baik sebagai modal ekonomi (economic capital) khususnya dalam penyediaan kebutuhan hidup, modal alam (natural capital) dalam penyediaan produk-produk primer, modal finansial (financial capital) pemenuhan kebutuhan akan keuangan, dan modal sosial (social capital) sebagai penyedia lapangan pekerjaan bagi masyarakat pesisir. Ke-lima modal diatas tentunya akan mampu dicapai melalui kerjasama sinergi yang didasarkan oleh rasa tanggungjawab (responsibility), komitmen, kesamaan kebutuhan dan kepercayaan (trust).

Kelembagaan penunjang, misalnya koperasi yang dikelola secara profesional pada kawasan pengembangan budidaya rumput laut akan menjamin pergerakan rantai pasok (suplly chain) pada setiap unit produksi dengan begitu secara langsung akan mempengaruhi terhadap peningkatan efektifitas dan efisiensi jalannya siklus aquabisnis rumput. Pada akhirnya satu-satunya jalan untuk mewadahi hal tersebut di atas adalah melalui pengembangan kelembagaan, sehingga kelembagaan mestinya sudah harus menjadi isyu penting dalam pengembangan aquabisnis rumput laut yang berkelanjutan. Sejatinya sebuah kelembagaan penunjang menjadi unsur penting dalam menjamin perputaran mata rantai siklus aquabisnis rumput laut. Koperasi sebagai bentuk demokrasi ekonomi Indonesia telah terbukti mampu menumbuhkembangkan pergerakan ekomoni masyarakat. Sayangnya, koperasi dibeberapa daerah masih belum mewakili kebutuhan/kepentingan anggota, artinya Ruh koperasi belum tertanam dalam wadah organisasi tersebut. Koperasi yang dikelola secara profesional akan menjamin keberlanjutan usaha yang dijalankan oleh anggota karena secara langsung akan berpengaruh terhadap peningkatan bargaining position hasil produksi, jaminan kualitas, jaminan pasar dan stabilitas harga. Gerakan Masyarakat Sadar Koperasi yang dicanangkan oleh Kementerian Koperasi dan UMKM sangat positif dan perlu diterapkan kuhsusnya pada kawasan pengembangan perikanan budidaya.

Membangun kemitraan usaha yang berkelanjutan

Dalam hal ini penulis perlu menekankan bagaimana kelembagaan menjadi faktor penting dalam membuka peluang membangun kemitraan usaha yang bersifat luas. Karena dalam aquabisnis sendiri interaksi antara subsistem/unit usaha akan berjalan efektif jika pola kemitraan tersebut mampu dibangun secara kuat dan berkelajutan. Dalam siklus aquabisnis peran kemitraan sendiri diibaratkan sebagai “Bahan bakar” yang tentunya akan mempengaruhi pergerakan semua sistem yang ada. Lalu kemitraan yang bagaimana yang akan mampu menggerakan jalannya siklus tersebut,.? Menurut Suwandi, 1995 mendefinisikan bahwa Kemitraan Agrobisnis adalah hubungan bisnis usaha sektor pertanian yang melibatkan satu atau sekelompok orang atau badan hukum dengan satu atau sekelompok orang atau badan hukum dimana masing-masing pihak memperoleh penghasilan dari usaha bisnis yang sama atau saling berkaitan dengan tujuan terciptanya keseimbangan, keselarasan, dan keterpaduan yang didasari rasa saling menguntungkan, memerlukan dan saling melaksanakan etika bisnis. Jika penulis kaitkan dengan aquabisnis rumput laut, maka sejatinya kemitraan usaha tersebut adalah hubungan antara perusahaan mitra dengan pelaku utama (pembudidaya) dalam meningkatkan efektifitas, efesiensi dan produktifitas diseluruh subsistem aquabisnis rumput laut sehingga tercipta nilai tambah dan daya saing produk rumput laut yang dihasilkan.

Bentuk kemitraan usaha yang seringkali dibangun misalnya melalui pola inti plasma maupun CSR (Coorporate Social Responsibility ). CSR sebagai manifestasi peran pihak perusahaan dalam upaya pemberdayaan masyarakat local memang menjadi sebuah keharusan sebagai bentuk tanggung jawab moral yang harus secara langsung dirasakan oleh masyarakat sekitar. Pola CSR dianggap mempunyai dampak yang cukup signifikan dalam upaya mengembangkan potensi suatu daerah. Sehingga perlu adanya upaya dalam mendorong konsep ini agar mampu berjalan terutama pada kawasan-kawasan pengembangan budidaya rumput laut. Sebagai gambaran, Kabupaten Penajam Paser Utara yang nota bene merupakan kawasan pengembangan baru, namun pada kenyataannya telah mampu menunjukkan proses pengembangan kawasan rumput laut yang relatif cepat, dimana kondisi ini tidak terlepas dari pola CSR yang dibangun antara Kelompok dengan perusahaan migas dalam hal ini PT. Cevron. Pola-pola kemitraan serupa hendaknya sudah mulai dikembangkan di sentra kawasan pengembangan budidaya rumput laut. Peran pendampingan dan penyuluhan yang profesional sangat dituntut dalam membangun kelembagaan yang kuat dan mandiri. Penyuluh bukan hanya sekedar menampung permasalahan yang ada, tetapi penyuluh profesional seyogyannya mampu menjadi, mitra, motivator, fasilitator dan dinamisator bagi pelaku utama. Peran advokasi dari penyuluh sangat diharapkan dalam membangun sebuah kelembagaan yang profesional di kawasan pengembangan budidaya.

Jika ke-semua langkah kebijakan di atas mampu dibangun dalam rangka menjamin keberlangsungan siklus aquabisnis rumput laut yaitu melalui kerjasama yang efektif dan bertanggung jawab antar seluruh stakeholders, maka sudah dipastikan akan mampu mewujudkan mimpi besar Indonesia bukan hanya sekedar pemasok bahan baku rumput laut saja, namun mampu menjadikan Indonesia sebagai kiblat industri rumput laut dunia. Semoga,...!!!


*) : Penulis sebagai Analis Budidaya Perikanan pada Direktorat Produksi, Ditjen Perikanan Budidaya

Rabu, 18 Mei 2011

PERAN KELEMBAGAAN DALAM AQUABISNIS RUMPUT LAUT

Oleh : Cocon, S.Pi

Kita tahu bahwa Kegiatan usaha pada sektor Kelautan dan Perikanan khususnya sub sektor perikanan budidaya merupakan kegiatan mikro yang mampu menyentuh peran pemberdayaan masyarakat secara luas dan diharapkan akan mampu menjadi penggerak pilar pertumbuhan ekonomi nasional yaitu Pro-poor, Pro-job, dan Pro-growth , sehingga dalam perjalannya tidak dapat dipungkiri bahwa perlu upaya untuk membangun sebuah siklus aquabisnis yang berkelanjutan. Minapolitan sebagai konsep pengembangan ekonomi kawasan berbasis Perikanan dan Kelautan yang menjadi kebijakan strategis pemerintah saat ini, diharapkan akan mampu mendorong jalannya siklus aquabisnis tersebut. Konsep ini akan berjalan dengan baik jika seluruh aspek penggerak siklus aquabisnis mampu dibangun secara efektif. Pencapaian produksi dan kapasitas usaha akan mampu dicapai jika para pelaku utama maupun pelaku usaha secara ekonomi mampu mencapai titik optimal dari kelayakan usaha. Sedangkan kelayakan usaha tentunya sangat bergantung pada jalannya subsistem-subsistem yang saling berinteraksi mulai dari kegitatan di hulu (on farm) sampai kegiatan di hilir (off farm), hal ini karena keberadaan subsistem dalam siklus yang berjalan secara efektif akan mampu meningkatkan efesiensi produksi.

Pencapaian Produksi Terlampaui, Masalah Rantai Pasok masih mendera

Produksi rumput laut Nasional sampai saat ini memperlihatkan trend kenaikan yang siginifikan sebuah keberhasilan tentunya yang diperlihatkan pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan. Tahun 2010 produksi Nasional mencapai 3.082.113 ton mengalami kenaikan rata-rata sebesar 23% per tahun. Nilai ini mampu melampaui target/sasaran produksi Tahun 2010 sebesar 115,3 % dari target sebesar 2.672.800 ton. Artinya langkah menuju target 10 juta ton di Tahun 2014 sangat optimis tercapai.

Sayangnya pencapaian produksi di atas belum sepenuhnya diimbangi oleh mulusnya perputaran rantai pasok pada sebagian kawasan pengembangan. Kondisi rantai pasok hasil produksi rumput laut masih menjadi permasalahan yang berpotensi menghambat jalannya siklus aquabisnis rumput laut. Kondisi ini secara umum masih terjadi di beberapa kawasan sentral produksi rumput laut. Terjadinya Inkonsistensi yang mencakup Jaminan kontinyuitas penyerapan produksi, stabilitas harga dan jaminan kualitas produksi masih menjadi penghambat mata rantai produksi, dimana fenomena ini terjadi karena masih cukup peliknya permasalahan pasar di level zona I (pembudidaya) dan zona II (pengepul). Kondisi ini ditambah karena belum terbangunnya kesadaran dan komitmen para pelaku dalam melihat permasalahan secara berimbang padahal sesungguhnya jaminan keberlangsungan kegiatan di hulu (on farm) sejatinya tidak bisa lepas dari pengaruh kegiatan di hilir (off farm). Jika kegiatan dihilir terhambat sebagai akibat tidak ada jaminan kualitas dari hulu, lalu bagaimana dengan jaminan penyerapan produk yang dihasilkan pembudidaya,..?. Salah seorang Purchasing Manager di salah satu industri nasional pengolah untuk bahan baku food grade, sempat mengeluhkan perihal jaminan kualitas produksi serta persaingan pasar yang kurang sehat terutama di lokasi budidaya terlebih secara umum harga pasar saat ini dikendalikan oleh para eksportir Dry Eucheuma Seaweed (DES), parahnya lagi masih banyaknya spekulan yang berkeliaran padahal harga tersebut kadangkala melebihi harga normal dan tidak sebanding dengan biaya produksi yang dikeluarkan. Lalu bagaimana dengan jaminan pasokan DES ke Industri ? sudah barang tentu akan terhambat, padahal industri sendiri perlu jaminan kontiyuitas raw material yang sesuai standar, tuturnya.

Penguatan Kelembagaan sebagai solusi

Kenapa Kelembagaan yang penulis tekankan, dan apa pula hubungannya dengan siklus aquabisnis ? Menurut Hermanto dan Subowo, 2006 membedakan bahwa secara empiris kelembagaan dapat dibedakan, antara lain: (1) kelembagaan sosial nonbisnis yang merupakan lembaga yang mendukung penciptaan teknologi, penyampaian teknologi, penggunaan teknologi dan pengerahan partisipasi masyarakat, seperti lembaga penelitian, penyuluhan, kelompok tani dan sebagainya, dan (2) lembaga bisnis penunjang yang merupakan lembaga yang bertujuan mencari keuntungan, seperti koperasi, usaha perorangan, usaha jasa keuangan dan sebagainya. Nah, ke-dua jenis kelembagaan inilah sesungguhnya yang harus menjadi isyu penting dalam upaya menggerakan siklus aquabisnis, jika kelembagaan ini mampu berjalan secara efektif sangat mungkin permasalahan yang saat ini masih mendera tidak lagi menjadi momok menakutkan bagi pelaku usaha.

Kelembagaan mempunyai arti luas yang mencakup aturan main, kode etik, sikap dan tingkah laku seseorang, organisasi atau suatu sistem. Inilah yang menurut penulis faktor kelembagaan menjadi bagian penting dalam upaya menata siklus aquabisnis rumput laut. Hal ini karena tidak dapat dipungkiri ternyata aquabisnis rumput laut masih menyisakan permasalahan baik pada kegiatan hulu (on farm) maupun di hilir (off farm). Jika diibaratkan kegiatan usaha merupakan sebuah rantai, maka kondisi saat ini menunjukkan performa mata rantai yang kurang baik, sehingga antar subsistem belum mampu berjalan dan berinteraksi secara baik dan berkelanjutan.

Jika penulis melakukan pengelompokan maka sebenarnya permasalahan tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor sosial dan ekonomi dari para pelaku. Faktor sosial akan erat kaitannya dengan pola pikir, etika, tradisi, dan prestice sedangkan faktor ekonomi berkaitan dengan kebutuhan dana dan kelayakan usaha. Dalam memenuhi tuntutan tersebut sangat tidak mungkin tercapai jika pelaku berjalan sendiri-sendiri, kondisi ini berkaitan dengan Fitrah manusia sebagai makhluk sosial. Yang jadi pertanyaan bagaimana menjadikan dua faktor tersebut berjalan secara sinergi dan berkesinambungan,..??. Langkah kebijakan yang paling strategis adalah melalui pengembangan kelembagaan baik kelembagaan kelompok maupun kelembagaan penunjang sebagai representasi dari kebutuhan dan aspirasi masyarakat pembudidaya. Melalui kelembagaan maka akan terbangun aturan yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama, hak dan kewajiban anggota, mampu mengatur kode etik, membangun kontrak melalui pola kemitraan, informasi pasar dan teknologi, serta membangun link pasar yang berkelanjutan. Dari semua fenomena yang terjadi, maka akar permasalahan yang sangat penting adalah karena belum terbangunnya sistem kelembagaan yang kuat dan mandiri pada kawasan pengembangan rumput laut.

Sejarah menunjukkan bahwa di negara-negara maju, kelembagaan yang baik akan mampu mendorong tumbuh kembangnya kegiatan bisnis dan pembangunan secara umum. Sudah bukan rahasia umum, bahwa aquabisnis rumput laut yang dikelola dengan baik telah memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat baik sebagai modal ekonomi (economic capital) khususnya dalam penyediaan kebutuhan hidup, modal alam (natural capital) dalam penyediaan produk-produk primer, modal finansial (financial capital) pemenuhan kebutuhan akan keuangan, dan modal sosial (social capital) sebagai penyedia lapangan pekerjaan bagi masyarakat pesisir. Ke-lima modal diatas tentunya akan mampu dicapai melalui kerjasama sinergi yang didasarkan oleh rasa tanggungjawab (responsibility), komitmen, kesamaan kebutuhan dan kepercayaan (trust). Pada akhirnya satu-satunya jalan untuk mewadahi hal tersebut di atas adalah melalui pengembangan kelembagaan, sehingga kelembagaan mestinya sudah harus menjadi isyu penting dalam pembangunan perikanan budidaya yang berkelanjutan

Kelembagaan yang ada masih rapuh

Memang pada beberapa kawasan pengembangan sudah terbentuk sebuah kelembagaan baik Kelompok Pembudidaya maupun kelembagaan penunjang namun jika kita analisa keberadaannya masih sangat lemah. Kerapuhan tersebut secara umum ditunjukkan oleh tidak efektifnya peran kepemimpinan sebagai penggerak dan penyeimbang proses dinamika kelompok, peran advokasi dan pendampingan yang kurang berjalan dengan efektif serta faktor kompetensi sumberdaya manusia yang minim.

Sejatinya sebuah kelembagaan penunjang menjadi unsur penting dalam menjamin perputaran mata rantai siklus aquabisnis rumput laut. Koperasi sebagai bentuk demokrasi ekonomi Indonesia telah terbukti mampu menumbuhkembangkan pergerakan ekomoni masyarakat. Sayangnya, koperasi dibeberapa daerah masih belum mewakili kebutuhan/kepentingan anggota, artinya Ruh koperasi belum tertanam dalam wadah organisasi tersebut. Koperasi yang dikelola secara profesional akan menjamin keberlanjutan usaha yang dijalankan oleh anggota karena secara langsung akan berpengaruh terhadap peningkatan bargaining position hasil produksi, jaminan kualitas, jaminan pasar dan stabilitas harga.

Penulis ambil contoh, sebuah lembaga keuangan mikro lokal yang telah mampu membuktikan efektifitasnya dan diharapkan dapat menjadi contoh bagi kawasan lain, salah satunya adalah Unit Pengelola Keuangan (UPK) Hidayatullah yang ada di Kecamatan Sapeken Desa Tanjung Keok Kabupaten Sumenep. Lembaga yang dikelola secara syariah ini telah mampu menopang keberlanjutan usaha budidaya rumput laut masyarakat sekitar. Peran sentral pelaku di zona II terlihat cukup efektif, sehingga melalui payung kelembagaan ini kegiatan produksi berjalan dengan baik. Bentuk dukungan bukan hanya dalam pendanaan namun yang tidak kalah penting adalah melalui peran pendampingan dan pendekatan moral yang dilakukan secara efektif dan berkelanjutan. Langkah ini sangat efektif karena lambat laun akan menanamkan kepercayaan (trust) sehingga akan mampu membangun ikatan moral yang kuat antar stakeholder, jika ini sudah terbangun, maka permasalahan di atas sudah barang tentu akan mampu dihindari.

Melihat efektifitas peran kelembagaan dalam menjamin jalannya siklus aquabisnis rumput laut, maka sudah saatnya pada seluruh kawasan pengembangan budidaya rumput laut dibangun sebuah kelembagaan yang kuat baik itu kelembagaan non-bisnis maupun kelembagaan bisnis. Kelembagaan penunjang, misalnya koperasi yang dikelola secara profesional pada kawasan pengembangan budidaya rumput laut akan menjamin pergerakan mata rantai (suplly chain) pada setiap unit produksi dengan begitu secara langsung akan mempengaruhi terhadap peningkatan efektifitas dan efisiensi jalannya siklus aquabisnis rumput laut secara berkelanjutan.

Memperkuat Peran Pendampingan dan Penyuluhan di Daerah

Bagaimana membangun kelembagaan,,? Kebijakan yang harus menjadi fokus implementasi adalah peran pendampingan maupun penyuluhan. Peran pendampingan yang profesional sangat dituntut dalam membangun kelembagaan yang kuat dan mandiri. Penyuluh bukan hanya sekedar menampung permasalahan yang ada, tetapi penyuluh profesional seyogyannya mampu menjadi mitra, motivator, fasilitator dan dinamisator bagi pelaku utama. Peran advokasi dari penyuluh sangat diharapkan dalam membangun sebuah kelembagaan yang profesional di kawasan pengembangan budidaya.

Citra diri positif seorang penyuluh perikanan di mata masyarakat pembudidaya sudah saatnya ditanamkan dengan membangun paradigma baru, bahwa penyuluh merupakan “ujung tombak perikanan” sudah sepantasnya mempunyai keunggulan kompetitif dan profesionalisme yang tinggi sebagai mitra pelaku utama terlebih jika dikaitkan dengan visi misi Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk menjadikan Indonesia sebagai penghasil produk perikanan dan kelautan terbesar di dunia Tahun 2015. Perikanan Jaya,..!! Sejahtera Rakyatku...!!!