Selasa, 23 Maret 2010

WACANA PENGEMBANGAN RUMPUT LAUT


RUMPUT LAUT : MENGEJAR KETERTINGGALAN

(Oleh : Fuad Andhika Rahman, S.Pi, M.Sc)*


Mukadimah

Sebagai daerah dengan wilayah perairan yang mendominasi menjadikan potensi pengembangan rumput laut yang sangat tinggi. Pengembangan rumput laut dilakukan dengan pertimbangan : periode budidaya singkat (30 – 60 hari), transfer teknologi mudah, serta mampu melibatkan partisipasi aktif perempuan secara massal. Selain dipengaruhi oleh kenyataan bahwa komoditas ini belum memiliki kuota, baik di pasar domestik maupun internasional. Dengan prospek yang dimiliki, idealnya pengembangan rumput laut berdampak signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan petani. Namun kondisi yang terjadi justru bertolak belakang. Munculnya kontradiksi, tidak terlepas dari miss orientasi pengembangan, dimana masih terkonsentrasi pada industri hulu, dengan target utama trading rumput laut kering asalan. Belum mengerucut pada paradigma bagaimana menjadikan industri hilir (olahan rumput laut) sebagai tulang punggung penggerak ekonomi daerah, dengan industri hulu (budidaya) lebih ditempatkan sebagai industri komponen penunjang.

Dalam konteks gerakan PIJAR (Sapi, Jagung dan Rumput Laut) yang mulai didengungkan sebagai 3 komoditas andalan daerah, dirasa penting untuk melakukan telaah, terutama dari segi konsepsi. Mengingat rumput laut (terutama genus Eucheuma), ikut termaktub dalam Rencana Strategis (Renstra) Departemen Kelautan dan Perikanan 2005- 2009, dalam bentuk program klaster aquabisnis rumput laut.

Indonesia : Masih Bahan Mentah

Kondisi industri hilir rumput laut di Indonesia saat ini tergolong minim dan penyebarannya masih terkonsentrasi di beberapa kota besar seperti Surabaya, Ujung Pandang, Makassar dan Jakarta. Minimnya industri hilir dalam negeri, secara kalkulasi merugikan, terutama bagi industri hulu yang
mayoritas berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Akselerasi industri hulu yang tinggi tidak diimbangi dengan pengembangan industri hilir, sehingga secara simultan mendorong orientasi pemasaran (domestik/ekspor) dalam bentuk bahan mentah. Berkaca pada Filipina selaku pengimpor tetap rumput laut kering Indonesia, mampu menghasilkan devisa hingga 6x lipat lebih tinggi, hanya melalui pengembangan Semi Refined Carrageenan (SRC). Mayoritas dijual ke Cina untuk kemudian diolah lebih lanjut. Ironisnya, produkproduk hilir asal Cina mengalami re-ekspor dan diperdagangkan secara bebas di Indonesia dalam bentuk jelly, permen, soft capsule vitamin/obat, kosmetik, pasta gigi, media kultur bakteri hingga cat tembok.
Secara neraca terjadi negative feedback mechanism : terjebak dalam politik perdagangan global, terkait kondisi Indonesia sebagai segmen pasar prospektif bagi serbuan produk hilir, yang bahan bakunya justru kita produksi sendiri.

Terkait Gerakan PIJAR, tantangan terbesar saat ini terletak pada platform pengembangan. Orientasi pengembangan pada industri hulu semata, sejatinya tidak terlalu tepat, mengingat sektor ini sudah hampir khatam baik dari segi produksi maupun penguasaan teknologi. Pun tidak terlihat urgensi dari ekstensifikasi lahan. Jumlah lahan yang tergarap saat ini, sudah lebih dari cukup guna menyokong
pengembangan industri hilir skala besar di Provinsi NTB. Industri hulu hanya tinggal masalah set-up, sesuai kapasitas produksi yang diinginkan. Dalam catatan saya, kapasitas terbesar pabrik rumput laut di Indonesia saat ini, sekitar 500 kg rumput laut kering/hari ; sangat mudah untuk disuplai dari industri hulu. Yang minim mendapat perhatian justru pengembangan industri hilir, terutama industri hilir skala besar. Pengembangan industri skala rumah tangga, selama ini kerap terbentur pada kapasitas penyerapan bahan baku maupun output produk yang tidak kontinyu, baik jumlah maupun mutu.

Berkembangnya industri hilir, akan menimbulkan multiple effect ; mendongkrak harga beli bahan baku dari petani sehingga meningkatkan animo masyarakat pesisir untuk melakukan budidaya. Artinya, terjadi reposisi peran penyuluh yang selama ini terkesan mati suri. Inilah yang disebut sebagai konsepsi
“menarik”, bukan “mendorong”. Petani dengan sendirinya akan mendatangi penyuluh, karena melihat ada unsur benefit didalamnya…..

Klaster Aquabisnis : Solusi Penuh Tantangan

Konsep clustering, awalnya diterapkan pada sektor Perkebunan (komoditas kopi dan kakao). Implementasinya sejauh ini masih menyisakan permasalahan seputar base product oriented maupun ketimpangan kesejahteraan yang terlampau tinggi antara industri hulu dan hilir. Hal tersebut dapat dimaklumi, mengingat risk sharing modal masih sepenuhnya menjadi beban industri hilir, yang didominasi swasta dengan bentuk badan hukum PT, CV maupun Firma. Klaster aquabisnis, berupaya mengeliminir kelemahan tersebut dengan penekanan pada 2 (dua) aspek : menggunakan pendekatan kawasan dan reposisi kelembagaan (Koperasi). Pendekatan kawasan diartikan sebagai pembangunan industri hulu – hilir pada satu daerah secara terintegrasi. Sementara Koperasi lebih dititikberatkan sebagai bentuk hukum industri hulu dan hilir, dengan risk sharing terbatas serta mensupport adanya feedback secara materi, sesuai prosentase proporsional kepemilikan saham.

Adapun beberapa hal mendasar yang patut dipertimbangkan dalam implementasi clustering di Provinsi :

a.Dukungan Pendanaan

Sewaktu memaparkan konsep ini, muncul wacana untuk meng-UPT-kan industri hilir rumput laut, mengingat Koperasi yang ada saat ini, belum sepenuhnya mampu melakukan manajemen pabrikasi secara professional. Secara bertahap, dilakukan proses peralihan (gradual hand over) kepada Koperasi, melalui mekanisme privatisasi. Singkatnya, pembangunan UPT (Unit Pelaksana Teknis) sebagai Satuan Kerja (Satker) Diskanlut, yang secara khusus menangani pengolahan rumput laut menjadi produk SRC/RC. Terlepas dari perdebatan apakah Pemda juga mampu professional dalam manajemen pabrikasi, political will yang kuat dari pemangku kebijakan merupakan faktor kunci. Mengingat investasi awal clustering 4,09% dari potensi lahan di Kabupaten Lombok Timur, lengkap dengan 1 (satu) industri RC, membutuhkan dana ± 12,5 M. Khusus untuk industri RC, Pay Back Period positif terjadi pada tahun ke-5. Artinya, alokasi dana APBD/APBN yang tinggi untuk sebuah UPT yang baru bisa dikenai target PAD 5 tahun kemudian!!

b.Peraturan Daerah (Perda)

Berbicara mengenai Koperasi pada dasarnya berbicara mengenai pengembangan jangka
panjang, yang kerapkali terdeviasi dalam pola pengembangan instan. Produk Perda bertujuan untuk menciptakan iklim usaha pro Koperasi yang kondusif ; payung hukum dalam derivatisasi penjabaran teknis. Dalam catatan saya, terdapat beberapa point pokok yang membutuhkan regulasi secara definitif diantaranya :

- Pewajiban Koperasi sebagai bentuk badan hukum dalam investasi rumput laut. Include didalamnya mengenai peran industri hilir (Koperasi Sekunder) sebagai avalis/penjamin modal dari lembaga perbankan/non perbankan kepada industri hulu (Koperasi Primer), persentase minimal dalam recruitment tenaga lokal hingga persentase proporsional kepemilikan saham industri hulu (Koperasi Primer) sebagaimana diatur dalam PP 33/1998.

- Hubungan tripartit antara Pemda, Koperasi dan Perguruan Tinggi/Business Development Centre. Didalamnya mengatur mengenai komponen pengurang pajak, ppH khusus bagi Koperasi, hingga kontribusi silang ketiga komponen tersebut

- Standar harga bahan baku dan standar mutu. Hal ini dilatarbelakangi mekanisme penentuan harga bahan mentah rumput laut yang kurang transparan, terutama di tingkat pedagang pengumpul/pedagang besar, selaku agen exportir Bali/Surabaya. Didalamnya meliputi revisi terhadap SNI Rumput Laut Kering Tahun 1992 serta mekanisme pemantauan harga nasional. Khusus point terakhir, dapat dilakukan sendiri oleh Pemda, dengan memanfaatkan networking terminal informasi yang dikembangkan oleh Jasuda (akses http://www.jasuda.net).

- Regulasi-regulasi tambahan seperti dana bergulir (KUR), penggratisan perijinan Koperasi, hingga insentif-insentif khusus.

c.Dukungan Sarana Laboratorium Mutu Hasil Perikanan

Industri SRC/RC diprediksi akan terbentur pada aspek mutu, terutama Gel Strength (GS) sebagai parameter utama dalam penentuan harga. Pertanyaannya : bagaimana mekanisme legalisasi mutu SRC/RC yang berlangsung selama ini? Belum dilengkapinya Laboratorium Mutu Hasil Perikanan dengan alat pengukur Gel Strength (GS), menyebabkan penentuan mutu produk rumput laut kering maupun SRC/RC, sejauh ini bersifat monopolistik. Di Indonesia, alat pengukur GS (Texture Analyzer), hanya dimiliki oleh beberapa industri besar, Perguruan Tinggi serta 4 lembaga penelitian yang terpusat di Jawa. Harga alatnya relatif mahal (200 - 500 juta), dengan biaya pengujian berkisar antara Rp.60.000 – 100.000 per sampel. Kondisi ini kerapkali memunculkan potensi kecurangan, terutama akibat prosedur pengujian yang tidak standar (E 407/E 407a) maupun belum jelasnya status akreditasi peralatan yang dimiliki oleh industri besar. Kedepan diperlukan reposisi peran Laboratorium Mutu Hasil Perikanan sebagai second opinion yang diharapkan mampu meningkatkan nilai tawar produk.

d.Pembinaan Koperasi

Industri hilir berada selangkah lebih maju ; akibat trial error maupun interaksi langsung dengan perubahan keinginan pasar. Tanpa bermaksud meremehkan, sudah waktunya birokrasi mengintrospeksi diri dalam menyikapi kondisi SDM Penyuluh yang kerapkali kurang up to date dengan perkembangan industri terkini. Training of Trainee (pelatihan penyuluh) selama ini dikonsep dan dikerjakan sendiri, jarang melibatkan pihak-pihak berkompeten khususnya dari kalangan pengusaha maupun NGO. Hal ini menyebabkan missing link fungsi penyuluh, guna menjembatani kebutuhan yang berbeda antara industri hulu dan hilir. Contoh sederhana : kadar Salt and Sand (SS) serta Sand Determination (SD) maksimal yang dipersyaratkan, berturut-turut sebesar 28% dan 5%. Patut dipertanyakan, apa dampak yang terjadi pada industri hilir seandainya kadar SS dan SD lebih tinggi? Penambahan biaya sortasi, kalkulasi rasio berat bersih ataukah penurunan mutu produk SRC/RC? Pun terkait umur panen, dengan syarat 45-60 hari. Namun pada kenyataannya umur panen 30 hari masih laris manis di pasaran. Ada beberapa “trik” yang menyebabkan produk SRC/RC dari rumput laut 30 hari, hingga memiliki kualifikasi mutu yang serupa dengan SRC/RC dari rumput laut 45-60 hari. Perlu penjelasan yang fair dari pengusaha. Belum lagi munculnya istilah KUD (Ketua Untung Duluan), menunjukkan kelemahan pembinaan manajemen usaha Koperasi selama ini…… Idealnya, Pemda lebih banyak berperan dalam hal networking pasar maupun koordinasi. Langkah konkrit berupa pembentukan Koperasi Gabungan di Tingkat Provinsi sebagai media pemasaran bersama maupun akses e-bay dengan processor/solution provider/industri hilir pengguna domestik. Koordinasi vertikal sebagaimana diatur dalam PP 38/2007, menitikberatkan tugas pembinaan pada Kabupaten/Kota dari sumber pendanaan APBD. Koordinasi horizontal mencakup kolaborasi SKPD yang berkepentingan terutama Diskanlut dan Dinas Koperasi dalam melakukan terobosan pengembangan.

e.Awig Awig (Local Ordinance)

“Kita yang menanam rumput laut tapi belum tentu kita yang memanen”. Anekdot semacam itu, perlu disikapi melalui awig-awig sebagai instrumen pengontrol, mengingat potensi konflik horizontal yang tinggi terutama pada era otonomi daerah seperti sekarang. Dari segi definisi, awig-awig merupakan aturan yang dibuat berdasarkan kesepakatan masyarakat untuk mengatur masalah tertentu yang bertujuan untuk memelihara ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam awig-awig ditentukan apa saja perbuatan yang boleh dan yang dilarang, sanksi yang berlaku, serta orang atau lembaga yang diberikan wewenang oleh masyarakat untuk menjatuhkan sanksi. Awig-awig sebagai bagian hukum adat yang tumbuh di tengah masyarakat (living law), mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam menjamin keberhasilan implementasi klaster aquabisnis kedepan. Hal ini disebabkan karena dasar lahirnya aturan tersebut adalah kehendak dari masyarakat sendiri. Karena itu dalam pengelolaan klaster aquabisnis kedepan, harus menggunakan pendekatan partisipatif masyarakat setempat (desa) dengan menggunakan awig-awig sebagai instrumennya. Untuk memperoleh pengakuan masyarakat, awig-awig mengenai klaster aquabisnis, dapat dilakukan secara bertahap melalui sosialisasi program, diskusi dengan petani serta penetapan melalui rapat pleno.

Penutup

Berkaca dari Pemprov Sulawesi Utara saat mendeclare diri sebagai Provinsi rumput laut, mengambil langkah kongkrit dengan fokus program dan anggaran pada clustering rumput laut di 3 lokasi yakni Kota Bau-bau, Kota Kendari dan Kabupaten Kolaka. Bagaimana dengan kita? Mengutip dari Jasuda.net : sejatinya hanya tinggal memilih, bergerak cepat mengembangkan klaster aquabisnis rumput laut atau tetap membiarkan petani menikmati sedikit sekali, hasil dari kerja keras mereka….

* Penulis adalah Staf Bidang Budidaya Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB