Sabtu, 30 Oktober 2010

MELIRIK MASA DEPAN RUMPUT LAUT INDONESIA

Oleh :
Cocon, S.Pi
Direktorat Produksi, DJPB


Sub-sektor perikanan budidaya nampaknya akan menjadi barometer pergerakan ekonomi nasional jika dikelola secara optimal. Seiring dengan target pencapaian peningkatan produksi perikanan budidaya yang dicanangkan Kementerian Kelautan dan Perikanan sampai dengan tahun 2014 sebesar 353 %, merupakan nilai yang dianggap oleh banyak kalangan terlalu ambisius. Namun melihat potensi yang ada Indonesia bukan tidak mungkin akan mampu mencapai target tersebut bahkan menjadi produsen perikanan terbesar di dunia. Salah satu komoditas budidaya laut yang paling memungkinkan untuk digarap secara maksimal adalah rumput laut Eucheuma cottoni, tahun ini Indonesia mampu menggeser posisi Philipina sebagai produsen terbesar rumput laut dunia.

Peningkatan Produksi Belum Diimbangi oleh Jaminan Kualitas Produksi

Peningkatan produksi rumput laut masih cukup optimis untuk bisa dicapai mengingat tingginya daya dukung teknis dan potensi kawasan pengembangan yang masih terbuka luas untuk dimanfaatkan. Hanya saja , sampai saat ini siklus aquabisnis rumput laut masih menyisakan masalah yang cukup kompleks antara lain jaminan kualitas produksi DES (dried eucheuma seaweed) di tingkat pembudidaya yang secara umum masih belum memenuhi standar eksport, stabilitas harga yang masih fluktuatif dimana 2 (dua) faktor ini yang menjadi momok bagi keberlangsungan Industri rumput laut. Sebagai gambaran, menurut pengakuan beberapa trader/eksportir rumput laut di Surabaya secara umum mereka mengeluhkan kondisi tersebut dan berdampak terhadap cash flow yang ada. Terjadinya loading stock DES di gudang eksportir dengan kualitas rendah memaksa mereka mengeluarkan biaya operasional untuk melakukan sortir ulang. Tidak dipungkiri bahwa 80% raw material rumput laut dalam bentuk DES kita eksport salah satunya ke China, dimana saat ini China menerapkan standar cukup ketat terhadap produk import DES bukan hanya kadar air tapi juga umur panen dan SFDM (salt free dry matter). Posisi industri China yang mulai selektif inilah yang menjadi masalah tersendiri bagi para eksportir mengingat rendahnya kualiitas DES dari pembudidaya, tidak jarang terjadi loading stock yang berimbas pada penghentian pembelian sementara dari para pembudidaya. Sudah barang tentu kondisi ini berdampak pula pada kegiatan usaha para pembudidaya, inilah yang mengakibatkan fluktuasi harga dan rendahnya posisi tawar DES di tingkat pembudidaya. Menurut analisa saya ada beberapa hal yang menyebabkan permasalahan di atas :

1.Belum terbangun kesadaran di tingkat pembudidaya maupun pengepul lokal terhadap jaminan mutu produk rumput laut yang dihasilkan. Pengelolaan pasca panen yang masih kurang memperhatikan jaminan mutu masih seringkali dilakukan oleh pembudidaya di beberapa lokasi. Fenomena yang terjadi adalah bagaimana produk bisa terserap pasar dengan harga tinggi tanpa mempertimbangkan mutu produk.

2.Rantai dan siklus pasar belum terbangun dengan baik. Di sentra-sentra produksi rumput laut masih seringkali terdapat para spekulan yang merusak stabilitas harga, pola kemitraan yang sudah terbangun antara pembudidaya dengan pelaku usaha menjadi tidak berjalan dengan kehadiran para spekulan. Fenomena yang terjadi para spekulan mengejar target kuota tanpa mengindahkan kualitas produk, padahal harga yang diberlakukan sama atau melebihi harga yang berlaku di pasar lokal. Inilah yang mempengaruhi "mind set" pelaku utama, yang menganggap bahwa kulaitas adalah tidak terlalu penting, toh harga pembelian yang diberlakukan sama dengan rumput laut yang kualitasnya baik. Kondisi ini secara tidak mereka sadari akan mengancam keberlanjutan usaha mereka, karena peran spekulan pada dasarnya muncul secara inseidental, disisi lain pembudidaya sudah kehilangan kepercayaan dari pembeli semula.

3.Belum terbangun pola kemitraan yang kuat secara hukum yang diimbangi dengan kuatnya kelembagaan kelompok secara berkelanjutan. Yang terjadi secara umum kemitraan masih bersifat alamiah dan tidak mengikat sehingga ke dua belah pihak sama-sama tidak mempunyai tanggung jawab dan kontrol yang kuat terhadap jaminan kualitas produk maupun stabilitas harga di pasar.

4.Degradasi kualitas bibit, pada beberapa daerah seperti diakui oleh pembudidaya di Lombok Barat bahwa kondisi bibit sudah cukup memprihatinkan sehingga perlu upaya untuk mengintroduksi jenis bibit baru yang secara kualitas terjamin.

5.Kurangnya peran advokasi dari pelaku pembina di daerah terhadap jalannya siklus bisnis rumput laut.

Faktor di atas yang teridentifkasi menjadi penyebab terjadinya fluktuasi harga dan rendahnya kualitas DES di Indonesia sehingga siklus bisnis rumput laut tidak berjalan semestinya. Beberapa dari kita masih belum seimbang dalam melihat akar permasalahan bisnis rumput laut. Ketidakseimbangan tersebut terlihat dengan adanya persepsi bahwa bagaimana mengupayakan produksi dan harga tinggi di tingkat hulu (pembudidaya ) tanpa mempertimbangkan kondisi yang terjadi di hilir (Industri), padahal pihak industri membutuhkan jaminan mutu produk untuk menjaga stabilitas usahanya. Kondisi ini yang mengakibatkan rantai bisnis rumput laut terhambat.

Klaster Aquabisnis Rumput Laut Sebagai Kunci Sukses

Target pencapaian produksi rumput laut yang menjadi target Kementrian KP sebesar 10 juta ton pada tahun 2014 akan mungkin bisa dicapai, melalui kerjasama dan komitmen semua stakeholder mulai dari pemerintah pusat/daerah sampai pelaku utama secara berkesinambungan. Sejalan dengan itu kebijakan strategis yang dijadikan senjata ampuh pemerintah pusat adalah melalui pencanangan program minapolitan melalui pendekatan klaster. Pendekekatan ini dinilai ampuh dalam mewujudkan pencapaian target di atas. Dalam pengembangan sumberdaya perikanan klaster minapolitan merupakan bentuk pendekatan yang berupa pemusatan kegiatan perikanan pada suatu lokasi tertentu, dengan memberdayakan subsistem-subsistem agrobisnis perikanan dari hulu sampai hilir serta jasa penunjang yang saling mendukung. Konsep inilah yang akan menjamin efesiensi dan efektifitas kegiatan usaha serta akan mampu meningkatkan daya saing produk perikanan.

Pengembangan klaster rumput laut pada hakekatnya lebih mengedepankan kemitraan yang dibangun melalui komunikasi dan implementasi nyata diatara stakeholder secara sinergis dan saling menguntungkan dengan demikian pengembangan ekonomi local melalui aquabisnis klaster rumput laut harus menjadi bagian integral dari upaya pemerintah daerah melalui pemberdayaan masyarakat pesisir, peningkatan daya saing kolektif, penciptaan peluang-peluang baru serta pertumbuhan ekonomi berkesinambungan melalui peningkatan produk sector perikanan dalam hal ini komoditas rumput laut. Pengembangan klaster aquabisnis rumput laut dtekankan meliputi pengembangan beberapa ploting kawasan meliputi zona pembibitan untuk menjamin ketersediaan bibit yang berkualitas, zona budidaya, Zona penanganan pasca panen untuk menjamin kualitas produk DES yang dihasilkan, serta Zona pengolahan/industri.

Sudah menjadi hal biasa bahwa posisi tawar produksi rumput laut pada sentra pengembangan yang sulit dijangkau akan mengalami penurunan dibanding kawasan lain. Kondisi ini biasa terjadi di Wilayah Indinesia bagian Timur seperti Maluku, Papua dan Maluku Utara. Siklus pasar yang begitu melelahkan menyebabkan harga di lokasi menjadi turun drastis, karena memaksa pembeli mengeluarkan biaya tambahan yang cukup tinggi untuk transportasi. Fenomena ini yang kadang-kadang dikhawatirkan menurunkan animo masyarakat pembudidaya terutama bagi mereka yang mempunyai pola pikir yang bersifat instan (un-visible). Padahal kawasan-kawasan tersebut mempunyai potensi pengembangan yang sangat besar. Sejalan dengan kondisi tersebut, maka klaster aquabisnis rumput laut merupakan upaya untuk membangun kawasan budidaya terintegrasi dimana pada kawasan tersebut memugkinkan terjadinya suplly chain dari hulu ke hilir yang efektif dan efisien sehingga akan terjadi peningkatan posisi tawar produk di tingkat pembudidaya.

Dalam mewujudkan klater aquabisnis rumput laut, maka beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti, adalah sebagai berikut :

optimalisasi peran pemerintah daerah

Harus diakui bahwa secara umum konsep klaster aquabisnis rumput laut sebagai kunci sukses belum menjadi perhatian serius pemerintah daerah dan masih dalam tataran wacana. Padahal potensi pengembangan rumput laut sangat besar dan sangat memungkinkan untuk ditingkatkan. Pemerintah daerah perlu segera menyusun regulasi yang strategis termasuk didalamnya penyusunan masterplan, penataan tata ruang wilayah (RTRW) dan penyusunan RPIJM (Rencana Pembangunan Infrastruktur Jangka Menengah) serta dukungan terhadap kemudahan investasi. Hal ini penting mengingat sumberdaya rumput laut merupakan usaha yang menyentuh aspek pemberdayaan masyarakat dan telah menjadi bagian bagi hajat hidup masyarakat serta pendorong pergerakan ekonomi local.

Peningkatan produksi rumput laut akan mampu tercapai jika pemanfaatan potensi lahan dapat ditingkatkan melalui ekstensifikasi untuk menciptakan kawasan-kawasan pengembangan baru. Pemerintah daerah harusnya melihat kondisi ini sebagai sebuah peluang yang perlu digarap secara maksimal melalui penerapkan kebijakan strategis mulai dari pembinaan secara langsung sampai dengan dukungan penganggaran guna mempermudah akses produksi dan pasar secara luas. Penataan dari sisi kelembagaan kelompok maupun penunjang serta infrastruktur seharusnya menjadi tanggung jawab semua pihak baik pemerintah maupun swasta, hal ini penting karena merupakan factor penentu terhadap jalannya siklus bisnis rumput laut maupun perikanan budidaya secara umum.

Potensi SDA rumput laut seharusnya menjadi unggulan daerah dan bisa ditawarkan dengan menggandeng semua pihak. Disamping itu peran Perusahan Daerah (BUMD) sudah saatnya melirik terhadap peluang-peluang bisnis pada sub sector perikanan budidaya khususnya rumput laut sehingga daya tawar (bargaining position) hasil produk akan mampu ditingkatkan. Pemerintah Daerah perlu segera melakukan implementasi akselerasi pembangunan perikanan budidaya secara nyata demi peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir dan pembangunan ekonomi daerah dan nasional.

Perlu pembinaan terhadap peran pengepul/tengkulak

Kaitannya dalam usaha rumput laut Keberadaan tengkulak/pengepul seringkali dinilai kalangan merugikan pelaku utama dan tak sejalan dengan konsep klaster. Namun sesungguhnya tengkulak merupakan asset kluster yang keberadaannya patut untuk didukung. Hal ini karena dalam klaster dikenal zonasi, posisi tengkulak merupakan representasi Zona 2 setelah pembudidaya di Zona 1, sehingga posisi tengkulak tidak masalah karena titik ini akan menjadi mata rantai berjalannya bisnis rumput laut. Hanya saja pemerintah perlu mengadvokasi agar kemitraannya berjalan baik. Peran tengkulak seperti di beberapa daerah pengembangan bukan hanya mensupport permodalan tapi juga berperan dalam menjaga kestabilan harga, kualitas produksi, pergudangan sehingga jalannya siklus terjaga karena sama-sama diuntungkan. Posisi strategis tengkulak dalam rantai distribusi pasar perlu diberdayakan melalui peran pembinaan secara berkelanjutan khususnya dalam rangka menjamin akses pasar dan kualitas hasil produksi, yang saat ini masih menjadi permasalahan utama pada aquabisnis rumput laut di Indonesia. Sehingga peran tengkulak tidak hanya mencari quota produksi sebanyak-banyakknya namun harus bertanggungjawab terhadap jaminan mutu produk DES (dried eucheuma seaweed) yang dihasilkan.

Perlu penguatan kelembagaan dan membangun pola kemitraan yang kuat

Permasalahan siklus pasar bisnis rumput laut pada sentra-sentra produksi disebabkan karena lemahnya peran pembinaan pemerintah daerah dalam membangun kelembagaan kelompok yang kuat dan peran advokasi untuk membangun pola kemitraan yang kuat, legal dan berkelanjutan. Kuatnya kelembagaan kelompok serta terbangunnya pola kemitraan yang kuat akan menumbuhkan kesadaran dan tanggungjawab serta kultur bisnis yang positif antara pelaku utama (pembudidaya) dan pelaku usaha (industri) akan perlunya keseimbangan dalam menata siklus bisnis demi keberlanjutan usaha. Pembudidaya memerlukan jaminan pasar, penyerapan produksi dan stabilitas harga, disisi lain pihak trader/eksportir/industri membutuhkan jaminan kualitas produk dan kontiyuitas.

Peran kontrol pada semua tahapan produksi mutlak harus dilakukan baik oleh pemerintah daerah melalui peran penyuluhan, pengepul maupun pihak mitra usaha dengan menurunkan langsung field advisor yang berperan dalam quality control proses budidaya, pengelolaan pasca panen maupun pergudangan di lokasi budidaya. Jika kondisi tersebut telah terbangun dengan baik, maka upaya pemerintah pusat untuk membangun industri pengolah nasional di sentra-sentra produksi tidak akan mengalami permasalahan yang berarti.

Perlunya Membangun sinergitas

Perlu diakui bahwa terhambatnya siklus bisnis rumput laut karena mata rantai produksi maupun pasar yang tidak berjalan semestinya bahkan terputus pada tahapan tertentu (tidak ada keberlanjutan). Salah satu penyebabnya karena belum terbangun persamaan persepsi, komitmen, tanggungjawab dan kerjasama sinergis diantara stakeholder yang terlibat dalam usaha pe-rumputlaut-an di Indonesia mulai dari pemerintah pusat dan daerah, pelaku utama, pelaku usaha, lembaga/instansi teknis serta lembaga keuangan. Fenomena yang terjadi seringkali masih muncul “ego-sektoral” sehingga implementasi kebijakan dari pemerintah pusat tidak didukung secara penuh, inilah yang mengakibatkan siklus usaha selalu berhenti dalam suatu tahapan tertentu.

Jika kata “Sinergitas” diimplementasikan secara nyata oleh seluruh stake holder, maka sangat optimis Indonesia akan menjadi sentral produksi rumput laut terbesar bukan hanya dari sisi kapasitas produksi melainkan didukung oleh jaminan mutu hasi produk yang berdaya saing tinggi.

Melalui tulisan ini kami berharap, mari bersama-sama mendukung kebijakan pemerintah pusat (Kementerian Kelautan dan Perikanan) dalam mewujudkan visi untuk menjadikan Indonesia menjadi produsen perikanan terbersar dunia demi kesejateraan masyarakat dan kebangkitan ekonomi nasional.

Selasa, 17 Agustus 2010

PANEN RUMPUT LAUT DI TELUK AWUR

Jepara- Panen bersama rumput laut yang dilakukan oleh Kelompok Nelayan Sido Mulyo di desa Teluk Awur pada lahan seluas 2 hektar dinilai cukup memuaskan dilihat dari hasil produksi yang dihasilkan. Menurut Masyudi, Ketua Kelompok yang membawahi anggota sebanyak16 orang mengatakan bahwa dengan bibit awal 3 ton, pada saat panen ini diperoleh 17 ton Rumput laut basah dengan masa pemeliharaan sekitar 45 hari, hasil panen tentunya akan lebih jika pada saat budidaya beberapa waktu lalu tidak terkena dampak ombak besar. Panen sendiri dilakukan dua hari pada hari Sabtu-Minggu (7-8 Agustus, Red.) Rumput Laut yang di panen langsung di timbang dan di beli oleh Investor dari Kudus dengan harga Rp. 1.100 per kilogram. Pengeringan rumput laut dilakukan di tepian pantai teluk awur dengan menggunakan para-para jemur sehingga cukup efektif dan efisien.

Ditambahkan Masyudi bahwa dia memulai usaha budidaya Rumput Laut ini sejak tahun 2009, melalui bimbingan dan pendampingan teknis dari petugas lapang Dislutkan kabupaten Jepara. Ditanya mengenai analisa usaha Rumput Laut, Masyudi juga menuturkan bahwa dari 7 tali rumput laut dengan panjang 100 meter yang dia miliki, diperoleh hasil panen sebanyak 1,2 ton, dengan nilai jual mencapai sekitar Rp. 1.320.000,-. Nilai ini tentunya sangat membantu dalam mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga.

Menurut M. Andri Utama, S.Pi Tenaga Pendamping Teknologi Rumput Laut dari Dislutkan Jepara menyatakan bahwa untuk kawasan teluk awur memiliki kurang lebih 150 hektar lahan yang potensial untuk pengembangan budidaya rumput laut, dari nilai tersebut baru hanya 7 hektar saja yang telah dimanfaatkan. Dengan hasil panen ini membuktikan bahwa sebagian perairan pesisir utara Jepara layak untuk dilakukan usaha budidaya rumput laut. Total pemanfatan lahan di perairan jepara sampai saat ini baru sekitar 27 hektar perairan Jepara (non Karimun Jawa) tersebar di perairan Teluk Awur, Bandengan, Bondo, dan Sekuro. Dia juga menambahkan bahwa saat ini mulai banyak permintaan rumput laut dari luar Jepara, hal ini terkait dengan kualitas rumput laut yang dihasilkan cukup baik.

Adi Sasongko, Msc. Kasie Budidaya Laut Dislutkan Jepara di sela-sela panen menyatakan bahwa kegiatan ini merupakan hasil pola kerjasama kemitraan yang dilakukan oleh CV. Kita Berdikari dengan Kelompok Nelayan Sido Mulyo, serta difasilitasi oleh Dislutkan yang bertujuan untuk pemberdayaan masyarakat nelayan disekitar Pesisir Jepara supaya pelan-pelan dapat beralih pada aktivitas usaha budidaya sehubungan aktivitas penagkapan ikan akhir-akhir ini cenderung mengalami penurunan. "Diharapkan melalui kerjasama ini dapat menimbulkan animo masyarakat pesisir untuk terjun dalam budidaya rumput laut, karena dengan waktu yang relatif singkat dapat dilakukan pemanenan”, ungkapnya.


Menurut Ir. Achid Setyawan C, MSi Kepala Dislutkan Kabupaten Jepara yang ditemui di ruangan kerjanya menyatakan bahwa dengan berhasilnya panen rumput laut ini Dislutkan sangat mendukung Visi dan Misi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang menaikkan produksi sebesar 353%. Beliau juga menambahkan bahwa Rumput Laut Jepara sudah sangat terkenal di luar Jepara, setiap ada pameran/expo yang diikuti oleh dislutkan yang ditanyakan para tamu adalah Rumput Laut, sehingga diharapkan akan meningkatkan animo mayarakat untuk terjun melakukan kegiatan budidaya rumput laut. Ditambahkan pula oleh Kepala Dislutkan, bahwa sejauh ini banyak calon Investor hanya ingin membeli rumput laut kering hasil budidaya, sehingga pemberdayaan masyarakat disini tidak ada, yang Dia harapkan para investor berkerja sama dengan Kelompok dari segi teknis budidaya seperti menyediakan bibit, tali, dan perlengkapan budidaya kepa da kelompok nelayan sehingga ada pemberdayaan masyarakat pesisir Jepara disitu. ”Kami mengharapkan masyarakat pesisir utara Jepara bisa secara bersama-sama memanfaatkan potensi perairan yang ada, sayang jika potensi yang ada kita biarkan begitu saja”, tambahnya.

Diharapkan kedepan perlu upaya strategis melalui perhatian dan implementasi nyata dalam memanfaatkan potensi laut di perairan Jepara. Hal ini penting karena kegiatan usaha budidaya rumput laut merupakan alternative usaha yang secara ekonomi layak dikembangkan pada masyarakat pesisir yang nota bene kehidupan ekonominya jauh tertinggal. Maka dari itu untuk para investor yang akan bekerjasama dengan kelompok di perairan Jepara dapat difasilitasi oleh Dislutkan Jepara.

Posting oleh : M. Andri Utama (dislutkan Jepara)

Jumat, 09 Juli 2010

OPTIMISME POKDAKAN DI PERAIRAN BONDO


Jepara- Senin, 5 Juli 2010, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Jepara Ir. Achid Setiawan C, MSi beserta staff, meninjau lokasi budidaya rumput laut Kelompok Budidaya Perikanan Wahana Karya Samudra dan Kelompok Wahyu Alam di desa bondo RT. 03. RW. 04 Kecamatan Bangsri Jepara, yang saat itu telah dilakukan panen. Panen dilakukan bersama pada lokasi kebun bibit rumput laut milik kelompok yang diketuai oleh Hadi Suyanto dan Junaidi.

Kegiatan panen bibit rumput laut yang dihadiri pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Jepara ini dilakukan pada lahan seluas 2 Hektar. Hadi Suyanto Ketua Kelompok pembudidaya rumput laut “ Wahana Karya Samudra”, yang mengawali kegiatan budidaya rumput laut di perairan Bondo melalui bimbingan dan pendampingan teknis dari petugas lapang Dislutkan kabupaten Jepara. Hadi mengatakan bahwa awal mulanya dia sempat tidak yakin dengan budidaya rumput laut di perairan bondo, tetapi karena keuletan dan kerja keras kelompok serta pendampingan dari Penyuluh dan Tenaga Pendamping Teknologi Dislutkan Kabupaten Jepara maka diperoleh hasil rumput laut yang memuaskan. “Alhamdullilah, meskipun baru memulai kami mampu panen bibit rumput laut dengan hasil yang sangat memuaskan”, Ujar Hadi bangga.

Bibit yang dipanen kemudian dijual kepada pembudidaya rumput laut lain dengan harga Rp. 3.000 per kilo. Junaidi Ketua Kelompok Wahyu Alam menambahkan bahwa kualitas bibit yang ada di Bondo tidak kalah dengan bibit yang berasal dari Karimun Jawa. ”Rumput Laut yang ada di Bondo Thallusnya lebih rimbun dan memanjang” ungkapnya.

Kelompok yang awalnya mendapatkan bantuan modal dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan Perikanan ini, akhirnya bisa memperluas kawasan budidaya yang semula 2 hektar rencananya akan ditingkatkan sampai 5 hektar dengan teknik budidaya menggunakan sistem longline.

Menurut Ir. Achid Setyawan C, MSi Kepala Dislutkan Kabupaten Jepara disela sela menghadiri acara panen menyatakan bahwa dengan berhasilnya panen rumput laut ini diharapkan akan mampu memperkuat anggapan bahwa sebagian perairan Jepara potensial dan layak untuk budidaya rumput laut, selain itu yang terpenting kegiatan panen ini diharapkan akan meningkatkan animo mayarakat untuk terjun melakukan kegiatan budidaya rumput laut. Ditambahkan pula oleh Kepala Dislutkan, bahwa sejauh ini telah ada calon Investor yang serius ingin melakukan kerjasama kemitraan rumput laut dengan kelompok, “ Sampai saat ini pembahasan MoU kerjasama telah disepakati, dimana realisasi akan dilakukan secepatnya. kami mengharapkan masyarakat pesisir utara Jepara bisa secara bersama-sama memanfaatkan potensi perairan yang ada, sayang jika potensi yang ada kita biarkan begitu saja”, tambahnya.

Sejauh ini ploting pengembangan terkonsentrasi pada beberapa kawasan yang tersebar di perairan Teluk Awur, Bandengan, Poncol, Bondo, dan Perairan Mlonggo, dimana perairan tersebut teridentifikasi dan telah terbukti layak untuk dikembang budidaya rumput laut. Total pemanfaatan lahan di perairan pesisir Jepara telah mencapai kurang lebih 16 Ha, dimana saat ini terus dilakukan pengembangan lahan maupun kapasitas lahan lewat kerjasama dengan beberapa Investor yang sudah mulai masuk ke Kabupaten Jepara.

Kendala permodalan seringkali menjadi momok yang menghambat kegiatan usaha budidaya rumput laut khususnya pembudidaya pemula dan skala kecil. Sehingga ke-depan perlu upaya strategis melalui perhatian dan implementasi nyata dalam memanfaatkan potensi laut di perairan Jepara. Hal ini penting karena kegiatan usaha budidaya rumput laut merupakan alternative usaha yang secara ekonomi layak dikembangkan pada masyarakat pesisir yang nota bene kehidupan ekonominya jauh tertinggal. Maka dari itu untuk para investor yang akan bekerjasama dengan kelompok di perairan Jepara akan difasilitasi dan diberi ruang untuk melakukan pengembangan usaha budidaya rumput laut di Perairan Jepara. Upaya ini dalam rangka turut membantu dalam mensukseskan target pencapaian produksi perikanan budidaya khususnya komoditas rumput laut yang telah dicanangkan Kementrian Perikanan dan Kelautan.



Sumber : Suara Merdeka, 7 Juli 2010

Kamis, 10 Juni 2010


LAPORAN PEMBINAAN DAN SUPERVISI
DI KEPULAUAN KARIMUNJAWA KABUPATEN JEPARA
PROVINSI JAWA TENGAH


Oleh : Cocon.S, S.Pi & Saunin
Direktorat Produksi, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya



I.HASIL PELAKSANAAN KEGIATAN

1.1.GAMBARAN UMUM KEPULAUAN KARIMUNJAWA


Kepulauan Karimunjawa yang secara administratif merupakan Kecamatan sebagai bagian dari wilayah Kabupaten Jepara keberadaannya sangat potensial untuk dilakukan pengembangan kawasan perikanan khususnya perikanan budidaya. Dengan Jumlah total pulau sebanyak 27 Pulau (5 pulau berpenghuni) dan mempunyai luas wilayah territorial seluas 107.225 Hektar, sebagian besar berupa lautan (100.105 Ha) sedangkan luas daratannya sendiri adalah 7.120 Ha. Daerah ini beriklim tropis yang dipengaruhi oleh angin laut yang bertiup sepanjang tahun dengan suhu rata-rata 26-30 derajat celcius.

Potensi perikanan khususnya perikanan budidaya di Kepulauan Karimunjawa sangat besar, dengan beberapa komoditas yang bias dikembangkan muali dari Kerapu, teripang dan rumput laut (Eucheuma cottoni). Berdasarkan data potensi lahan untuk budidaya laut menyebutkan bahwa luas lahan potensial pengembangan di Kepulauan Karimunjawa yang meliputi perairan P. Karimunjawa, P. Menjangan Besar, P. Parang dan P. Nyamuk adalah sebesar 7.100 Ha. Lahan ini sangat potensial untuk pengembangan budidaya rumput laut Eucheuma cottoni dan Kerapu (Chromilptes altivelis), tripang dan komoditas budidaya laut lainnya.

1.2.PERKEMBANGAN KEGIATAN BUDIDAYA LAUT

A.Budidaya rumput Laut (Eucheuma cottoni)

A.1. Perkembangan kegiatan budidaya

Kegiatan budidaya rumput laut di Kepulauan Karimunjawa telah berkembang sejak tahun 2000 sampai dengan sekarang dimana sampai saat ini kegiatan usaha budidaya rumput laut menjadi mata pencaharian utama masyarakat pesisir Kepulauan Karimunjawa seiring dengan terjadinya penurunan hasil tangkapan ikan.

Kawasan pengembangan budidaya rumput laut di Karimunjawa dilakukan pada 18 lokasi yang tersebar di Pulau Nyamuk, Pulau Parang, Batu lawang, Tlaga, Mrican, Legon, Jelamun, Cekmas, Nyamplungan, Alang-alang, Legon Buaya, Legon Gopra, Karimunjawa, Pulau Genting, Gon Lele, Sruni dan Kemloko dimana secara umum pembudidaya melakukan penanaman rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii strain Maumerre dan Philipina (cottoni jumbo) dengan kualitas pertumbuhan baik, sehingga tidak heran rumput laut dari Karimunjawa dijadikan sebagai alternative sumber bibit oleh daerah lain diluar Kabupaten Jepara. Beberapa waktu lalu pembudidaya telah mampu mensuplly kebutuhan bibit ke Provinsi Bangka Belitung mencapai 100 ton bibit.

Metoda budidaya yang diterapkan adalah metoda long line dan metode jalur kombinasi, dimana metoda tersebut layak untuk diterapkan sesuai dengan kondisi perairan Karimunjawa.

A.2. Pemanfaatan lahan dan Perkembangan produksi

Pemanfaatan lahan budidaya baru sebesar kurang dari 20 % atau seluas 240 Ha lahan budidaya dari total potensial yang ada. Ini menunjukan bahwa pemanfaatan lahan belum mencover keseluruhan potensi yang ada, sehingga akan menjadi tantangan sekaligus harapan untuk dilakukan pengembangan secara optimal.

Kapasitas produksi pada saat puncak musim tanam mencapai rata-rata 1.500 ton berat basah /bulan dan masih sangat memungkinkan untuk ditingkatkan. Rata-rata kepemilikan lahan per-pembudidaya seluas.1.500 m2 ( 15 line dengan panjang/line 100 m) dari total pembudidaya aktif sekitar 1.200 orang.

A.3. Perkembangan pembudidaya dan kelembagaan kelompok

Total pembudidaya rumput laut aktif di Kepulauan Karimunjawa sampai saat ini mencapai 1200 orang, hal ini seiring dengan animo masyarakat Karimunjawa yang tertarik untuk terjun melakukan usaha budidaya rumput laut.

Kelembagaan kelompok maupun lembaga penunjang belum terwujud dengan kuat, dari sekian banyak pembudidaya hanya sekitar 250 orang yang tergabung dalam kelembagaan kelompok, itupun belum mewujudkan sebagai sebuah kelompok yang kuat dan mandiri. Kondisi ini berbanding terbalik jika dibandingkan pada perkembangan tahun 2005 yang mampu membawa 2 kelompok pembudidaya yaitu Pokdakan Alga Jaya dan Bintang Laut menjadi salah satu juara kelembagaan kelompok tingkat nasional.

Kondisi belum terwujudnya kelembagaan kelompok salah satunya disebabkan kurangnya peran pendampingan secara langsung dari pemerintah setempat. Pada kesempatan ini kami mencoba untuk memberikan pengertian dan membuka wawasan kepada para pembudidaya dan pengepul local akan pentingnya wadah/kelembagaan kelompok maupun kelembagaan penunjang.

A.4. Akses pasar dan kemitraan usaha

Produksi kering rumput laut asal Karimunjawa pada saat keadaan normal mampu mencapai 100-150 ton/bulan, dimana akses pasar meliputi Surabaya, Jakarta dan Semarang kondisi ini didukung dengan mudahnya akses transportasi yaitu melalui pelabuhan penyebrangan Kartini Jepara. Harga yang berlaku untuk saat ini ditingkat pembudidaya sebesar Rp.1000/kg basah (Rp.10.000/kg kering) sedangkan ditingkat pengepul sebesar Rp.11.000/kg kering, sedangkan ditingkat industry dan eksportir sebesar Rp.12.000/kg kering.

Alur distribusi pasar melibatkan pembudidaya, pengepul local, pengepul kota, dan ekportir/pabrik pengolah, namun demikian secara umum hasil produksi dijual melalui ekportir. Kemitraan usaha telah berjalan namum masih bersifat alami dan fleksibel sehingga belum menunjukan adanya pola kemitraan yang bersifat long term. Kemitraan terjalin antara pengepul local dengan pembudidaya, dimana para pengepul local membantu pembudidaya dalam bentuk sarana produksi untuk kepentingan pengembangan, sedangkan pengepul local sendiri menjalin kerjasama dengan para eksportir berdasarkan kesepakatan namun tidak bersifat mengikat.

Munculnya peran spekulan akhir-akhir ini mengancam kemitraan antara pengepul local dengan para pembudidaya. Kondisi ini didukung oleh factor kelembagaan kelompok yang belum terbangun dengan kuat.

A.5. Kualitas produksi

Kualitas produksi rumput laut asal Karimunjawa mempunyai kategori baik dan sesuai dengan standar yang dipersyaratkan eksportir maupun industry. Hasil uji kualitas oleh salah satu industry pengolah di China tahun lalu menempatkan kualitas rumput laut Karimunjawa lebih baik dibanding daerah lain di Indonesia.

Proses penjualan basah dari tingkat pembudidaya memungkinkan untuk melakukan control kualitas di tingkat pengepul local. Hasil pengamatan kami, hamper disemua lokasi terdapat area jemur, packaging dan depo penampungan yang dikelola pengepul local dengan memberdayakan ibu-ibu pesisir. Dimana produk dari pembudidaya akan dikeringkan dan disortir sesuai standar kualitas yang diinginkan eksportir/industry. Kondisi ini cukup menguntungkan, sehingga sangat prospektif untuk membangun kemitraan yang lebih luas dengan Industri pengolah nasional.

A.6. Produktivitas usaha dan tingkat pendapatan

Kegiatan usaha budidaya rumput laut di Karimunjawa telah mampu menopang kebutuhan ekonomi masyarakat local, sehingga usaha budidaya rumput laut menjadi mata pencaharian utama sebagian besar masyarakat. Dengan kepemilikan lahan seluas 1.500 m2, pembudidaya mampu meraup hasil penjualan pada saat normal anatara Rp.1.800.000,- - Rp.2.500.000,-/MT.

1.3.PERMASALAHAN

Tingkat Pengepul lokal

1.Munculnya keberadaan spekulan dari luar karimunjawa yang mengancam kemitraan antara pengepul local dengan pembudidaya, dimana secara umum melakukan stocking (penimbunan) hasil pembelian dari pembudidaya sehingga harga melebihi ambang batas normal harga yang berlaku di pasar.

2.Para spekulan kurang memperhatikan sisi kualitas produksi (mengejar quota) sehingga dikhawatirkan akan menurunkan image baik kualitas rumput laut Karimunjawa.

3.Keterbatasn budget pembelian sehingga mengharapkan kemitraan yang lebih luas dengan industry besar nasional.

4.Kualitas produksi agak menurun karena terkendala musim hujan yang mengakibatkan proses pengeringan yang kurang sempurna (jangka waktu cukup lama)

Tingkat Pembudidaya

 Pada beberapa lokasi rumput laut mengalami kerusakan akibat kompetitor lumut, biasa disebut lumut kutu. Dengan tingkat penyebaran yang cepat menyebabkan rumput laut kurus/kerdil.

1.4. RENCANA TINDAK LANJUT

1.Akan membantu membuat konsep aturan yang akan disepakati oleh semua pengepul local dan pembudidaya mencakup kemitraan usaha, kelembagaan, standar harga, jaminan kualitas serta dalam rangka menghambat peran spekulan yang tidak bertanggungjawab
2.Tindak lanjut kesepakatan tersebut di atas akan membuka peluang guna membangun kemitraan yang lebih luas, bertanggungjawab dan berkelanjutan dengan Industri besar nasional.

1.5.SARAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

 Pemerintah setempat/daerah perlu segera untuk membuat rencana strategis (renstra) yang meliputi pengelolaan sumberdaya rumput laut di kepulauan karimunjawa dengan menyatukan persepsi, komitmen dan tanggung jawab bersama diantara seluruh stakeholder.

 Pemerintah dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Jepara perlu memfasilitasi untuk menata tata kelola pasar rumput laut di tingkat pengepul lokal, langkah awal adalah dengan membangun kesepakatan yang disepakati bersama yang mencakup pengelolaan budidaya , stabilitas harga, jaminan kualitas, system kemitraan berkelanjutan

 Perlu adanya regulasi dari pemerintah setempat untuk menghambat masuknya peran spekulan.

 Peran pengepul local di Karimunjawa sangat sentral dimana keberadaannya sebagai asset, dimana perlu advokasi dan peran regulasi dari pemerintah daerah setempat dalam membangun iklim usaha budidaya rumput laut yang baik, sehingga akan memungkinkan untuk membangun kemitraan yang lebih luas dan berkelanjutan dengan industri nasional mengingat dilihat dari aspek teknis pengelolaannya sudah berjalan dengan baik.

 Perlu peran pendampingan yang intensif dan berkelanjutan baik oleh pemerintah maupun pihak lain yang berkepentingan, hasil identifikasi peran pendampingan dan pembinaan masih belum nampak dirasakan oleh masyarakat pembudidaya. Faktor lain karena kurangnya jumlah SDM penyuluh lapang di Karimujawa.

 Perlu membangun kesamaan persepsi, tanggungjawab dan komitmen mulai dari pelaku usaha dan peran pemerintah setempat (lintas sector) untuk melakukan pengelolaan potensi budidaya laut yang berkelanjutan, sehingga tidak terkesan ada ego-sektoral diantara pemangku kebijakan di Karimunjawa.

 Pemerintah setempat/daerah bisa memfasilitasi pembentukan aturan local (awig-awig) mengenai pengelolaan sumberdaya rumput laut secara berkelanjutan yang disepakati seluruh stakeholder yang terlibat secara langsung dalam alur bisnis rumput laut, dimana regulasi/kebijakan strategis dari pemerintah daerah dalam hal ini Camat dan Dinas Kelautan Perikanan Kabupaten Jepara perlu secara nyata diimplementasikan.

Jumat, 09 April 2010

MENGINTIP HILIR RUMPUT LAUT

Kebijakan buka tutup ekspor menjamin pasokan bahan baku
Rumput laut menjadi komoditas utama pemacu peningkatan hasil laut. Namun sejauh ini, peran Indonesia hanya berhenti sebagai pedagang komiditas itu. Sementara, nilai tambah industri berbasis rumput laut yang dinikmati di dalam negeri masih jauh panggang dari api. Setidaknya sekitar 20 unit pabrik pengolahan rumput laut di dalam negeri pun belum beroperasi optimal karena alasan bahan baku.

Itu mengapa Indonesia hanya berhenti sebagai pedagang karena bahan baku rumput laut lebih banyak mengalir ke negara lain, seperti China dan Filipina. Nilai tambah produk olahannya pun lebih banyak dinikmati negara lain dan masuk ke Indonesia sebagai barang konsumsi impor. Ironis!

Tidak berlebihan jika pemerin-, tah berencana menerapkan kebijakan buka tutup ekspor rumput laut pada 2012 untuk mengoptimalkan suplai bahan baku komoditas ini ke industri hilir di dalam negeri. Direktur Usaha dan Investasi Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Kementerian Kelautan dan Perikanan Victor Nikijuluw menuturkan lima unit pabrik pengolahan rumput laut ini akan berdiri di Semarang, Surakarta, Maumere, Pulau Seram Barat, dan Sulawesi Tenggara.

"Lima industri pengolahan ini diperkirakan akan menyerap 300 ton hingga 500 ton per bulan rumput laut kering. Investasi setiap pabrik diperkirakan mencapai Rp30 miliar hingga RpSO miliar," ujarnya kemarin. Menurut dia, upaya ini untuk membuka industri pengolahan rumput laut ini sebagai persiapan rencana diberlakukannya sistem buka tutup untuk ekspor rumput laut.

Victor menyatakan saat ini 85% impor produk rumput laut dikirimkan ke China, Filipina, dan Malaysia, sementara sisanya dipasok untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Sebelumnya, Wakil Menteri Perindustrian Alex S.W. Retrau-bun menyatakan Indonesia membutuhkan investasi baru hingga Rpl triliun dalam 5 tahun ke depan untuk membangun industri pengolahan rumput laut.

"Selama puluhan tahun Indonesia menjadi produsen rumput laut terbesar di dunia dengan total produksi sekitar 600.000 ton rumput laut kering per tahun atau setara dengan 50% produksi dunia yang mencapai 1,2 juta ton pertahun."

Namun demikian, keluhnya, sebagian besar produksi rumput laut masih diekspor dalam bentuk bahan mentah sehingga nilai tambah rendah.

"Struktur industri rumput laut di dalam negeri masih kosong. Dibutuhkan investasi Rp600 mi-liar-Rpl triliun untuk mengembangkan industri pengolahannya. Padahal, potensi bahan baku kita ini besar dan hampir seluruhnya diekspor."

Banyak kendala

Victor megakui banyak kendala yang dirasakan oleh industri pengolahan rumput laut ini. Setidaknya sekitar 20 industri pengolahan tidak semua utilisasinya maksimal. Hal itu disebabkan oleh pengusaha enggan untuk mencadangkan bahan baku rumput laut.

Pengusaha merasa bisa mendapatkan rumput laut kapan saja dengan demikian mereka tidak pernah memenuhi gudang dengan maksimal. Selain itu, katanya, banyak pedagang yang membeli rumput laut dari petani dan bersaing dengan industri pengolahan rumput laut ini.

"Jadi ketika pedagang ini memberikan harga yang lebih besar dibandingkan industri dengan selisih yang sebenarnya tidak terlalu signifikan, petani condong menjual pada harga beli yang lebih tinggi," katanya. Menurut Victor, industri memang tidak dapat memberikan harga yang terlalu tinggi karena sudah berinvestasi pada pola kemitraan dan pembinaan masyarakat lokal.

Oleh karena itu, tambahnya, pemerintah mendorong agar industri dapat mengembangkan pola kemitraan dengan petani. Dengan demikian, katanya, aksi beli rumput laut secara on the spot dapat berubah menjadi kontrak yang jangka panjang.

Di sisi lain, katanya, hal ini .ikan mengikat petani agar tidak menjual rumput laut ke pedagang lain. Menyoal keterlibatan perbankan, Alex optimistis potensi bisnis rumput laut ini lambat laun akan dilirik perbankan sehingga masalah pendanaan bagi sektor ini dapat dicarikan jalan keluarnya.

"Industri ini bahkan telah dimasukkan Kementerian Perindustrian sebagai sektor pionir untuk mendapatkan fasilitas pajak," tegasnya. Rumput laut, ujarnya, merupakan komoditas yang dapat berkembang subur di perairan Indonesia. Dengan masa tanam yang relatif singkat yakni hanya 45 hari, komoditas ini justru bisa dijual dengan harga relatif tinggi yakni sekitar Rp7.000-Rp 10.000 per kg.

Di dalam rancangan cetak biru industri rumput laut nasional, lanjut Alex, Kemenperin akan mendongkrak produksi rumput laut hingga 389% dari 2,57 juta ton menjadi 10 juta ton pada 2014. Yang terpenting sebenarnya adalah koordinasi dua instansi ini, yaitu Kementerian Perindustrian (Kemenperin) bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Selama ini, dua instansi ini masih memiliki kebijakan yang tumpang-tindih untuk mengembangkan rumput laut.

Jika rumput laut memang layak dijadikan komoditas ung-gulanjebih baik pemerintah segera mengambil komitmen nasional. Mengandalkan Kemenperin atau KKP saja, rumput laut hanya akan berhenti dijual kering seperti selama ini. (dieno.lestari@-bisnts.co. id/aprikn. hemanda@bisnis. co.id)Mengintip hilir rumput laut

Kebijakan buka tutup ekspor menjamin pasokan bahan baku

OLEH DIENA LESTARI
&
APRIKA R. HERNANDA

Bisnis Indonesia


Rumput laut menjadi komoditas utama pemacu peningkatan hasil laut. Namun sejauh ini, peran Indonesia hanya berhenti sebagai pedagang komiditas itu. Sementara, nilai tambah industri berbasis rumput laut yang dinikmati di dalam negeri masih jauh panggang dari api. Setidaknya sekitar 20 unit pabrik pengolahan rumput laut di dalam negeri pun belum beroperasi optimal karena alasan bahan baku.

Itu mengapa Indonesia hanya berhenti sebagai pedagang karena bahan baku rumput laut lebih banyak mengalir ke negara lain, seperti China dan Filipina. Nilai tambah produk olahannya pun lebih banyak dinikmati negara lain dan masuk ke Indonesia sebagai barang konsumsi impor. Ironis!

Tidak berlebihan jika pemerin-, tah berencana menerapkan kebijakan buka tutup ekspor rumput laut pada 2012 untuk mengoptimalkan suplai bahan baku komoditas ini ke industri hilir di dalam negeri. Direktur Usaha dan Investasi Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Kementerian Kelautan dan Perikanan Victor Nikijuluw menuturkan lima unit pabrik pengolahan rumput laut ini akan berdiri di Semarang, Surakarta, Maumere, Pulau Seram Barat, dan Sulawesi Tenggara.

"Lima industri pengolahan ini diperkirakan akan menyerap 300 ton hingga 500 ton per bulan rumput laut kering. Investasi setiap pabrik diperkirakan mencapai Rp30 miliar hingga RpSO miliar," ujarnya kemarin. Menurut dia, upaya ini untuk membuka industri pengolahan rumput laut ini sebagai persiapan rencana diberlakukannya sistem buka tutup untuk ekspor rumput laut.

Victor menyatakan saat ini 85% impor produk rumput laut dikirimkan ke China, Filipina, dan Malaysia, sementara sisanya dipasok untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Sebelumnya, Wakil Menteri Perindustrian Alex S.W. Retrau-bun menyatakan Indonesia membutuhkan investasi baru hingga Rpl triliun dalam 5 tahun ke depan untuk membangun industri pengolahan rumput laut.

"Selama puluhan tahun Indonesia menjadi produsen rumput laut terbesar di dunia dengan total produksi sekitar 600.000 ton rumput laut kering per tahun atau setara dengan 50% produksi dunia yang mencapai 1,2 juta ton pertahun."

Namun demikian, keluhnya, sebagian besar produksi rumput laut masih diekspor dalam bentuk bahan mentah sehingga nilai tambah rendah.

"Struktur industri rumput laut di dalam negeri masih kosong. Dibutuhkan investasi Rp600 mi-liar-Rpl triliun untuk mengembangkan industri pengolahannya. Padahal, potensi bahan baku kita ini besar dan hampir seluruhnya diekspor."

Banyak kendala

Victor megakui banyak kendala yang dirasakan oleh industri pengolahan rumput laut ini. Setidaknya sekitar 20 industri pengolahan tidak semua utilisasinya maksimal. Hal itu disebabkan oleh pengusaha enggan untuk mencadangkan bahan baku rumput laut.

Pengusaha merasa bisa mendapatkan rumput laut kapan saja dengan demikian mereka tidak pernah memenuhi gudang dengan maksimal. Selain itu, katanya, banyak pedagang yang membeli rumput laut dari petani dan bersaing dengan industri pengolahan rumput laut ini.

"Jadi ketika pedagang ini memberikan harga yang lebih besar dibandingkan industri dengan selisih yang sebenarnya tidak terlalu signifikan, petani condong menjual pada harga beli yang lebih tinggi," katanya. Menurut Victor, industri memang tidak dapat memberikan harga yang terlalu tinggi karena sudah berinvestasi pada pola kemitraan dan pembinaan masyarakat lokal.

Oleh karena itu, tambahnya, pemerintah mendorong agar industri dapat mengembangkan pola kemitraan dengan petani. Dengan demikian, katanya, aksi beli rumput laut secara on the spot dapat berubah menjadi kontrak yang jangka panjang.

Di sisi lain, katanya, hal ini .ikan mengikat petani agar tidak menjual rumput laut ke pedagang lain. Menyoal keterlibatan perbankan, Alex optimistis potensi bisnis rumput laut ini lambat laun akan dilirik perbankan sehingga masalah pendanaan bagi sektor ini dapat dicarikan jalan keluarnya.

"Industri ini bahkan telah dimasukkan Kementerian Perindustrian sebagai sektor pionir untuk mendapatkan fasilitas pajak," tegasnya. Rumput laut, ujarnya, merupakan komoditas yang dapat berkembang subur di perairan Indonesia. Dengan masa tanam yang relatif singkat yakni hanya 45 hari, komoditas ini justru bisa dijual dengan harga relatif tinggi yakni sekitar Rp7.000-Rp 10.000 per kg.

Di dalam rancangan cetak biru industri rumput laut nasional, lanjut Alex, Kemenperin akan mendongkrak produksi rumput laut hingga 389% dari 2,57 juta ton menjadi 10 juta ton pada 2014. Yang terpenting sebenarnya adalah koordinasi dua instansi ini, yaitu Kementerian Perindustrian (Kemenperin) bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Selama ini, dua instansi ini masih memiliki kebijakan yang tumpang-tindih untuk mengembangkan rumput laut.

Jika rumput laut memang layak dijadikan komoditas ung-gulanjebih baik pemerintah segera mengambil komitmen nasional. Mengandalkan Kemenperin atau KKP saja, rumput laut hanya akan berhenti dijual kering seperti selama ini.



Sumber : Bisnis Indonesia Hal :i7

Selasa, 23 Maret 2010

WACANA PENGEMBANGAN RUMPUT LAUT


RUMPUT LAUT : MENGEJAR KETERTINGGALAN

(Oleh : Fuad Andhika Rahman, S.Pi, M.Sc)*


Mukadimah

Sebagai daerah dengan wilayah perairan yang mendominasi menjadikan potensi pengembangan rumput laut yang sangat tinggi. Pengembangan rumput laut dilakukan dengan pertimbangan : periode budidaya singkat (30 – 60 hari), transfer teknologi mudah, serta mampu melibatkan partisipasi aktif perempuan secara massal. Selain dipengaruhi oleh kenyataan bahwa komoditas ini belum memiliki kuota, baik di pasar domestik maupun internasional. Dengan prospek yang dimiliki, idealnya pengembangan rumput laut berdampak signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan petani. Namun kondisi yang terjadi justru bertolak belakang. Munculnya kontradiksi, tidak terlepas dari miss orientasi pengembangan, dimana masih terkonsentrasi pada industri hulu, dengan target utama trading rumput laut kering asalan. Belum mengerucut pada paradigma bagaimana menjadikan industri hilir (olahan rumput laut) sebagai tulang punggung penggerak ekonomi daerah, dengan industri hulu (budidaya) lebih ditempatkan sebagai industri komponen penunjang.

Dalam konteks gerakan PIJAR (Sapi, Jagung dan Rumput Laut) yang mulai didengungkan sebagai 3 komoditas andalan daerah, dirasa penting untuk melakukan telaah, terutama dari segi konsepsi. Mengingat rumput laut (terutama genus Eucheuma), ikut termaktub dalam Rencana Strategis (Renstra) Departemen Kelautan dan Perikanan 2005- 2009, dalam bentuk program klaster aquabisnis rumput laut.

Indonesia : Masih Bahan Mentah

Kondisi industri hilir rumput laut di Indonesia saat ini tergolong minim dan penyebarannya masih terkonsentrasi di beberapa kota besar seperti Surabaya, Ujung Pandang, Makassar dan Jakarta. Minimnya industri hilir dalam negeri, secara kalkulasi merugikan, terutama bagi industri hulu yang
mayoritas berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Akselerasi industri hulu yang tinggi tidak diimbangi dengan pengembangan industri hilir, sehingga secara simultan mendorong orientasi pemasaran (domestik/ekspor) dalam bentuk bahan mentah. Berkaca pada Filipina selaku pengimpor tetap rumput laut kering Indonesia, mampu menghasilkan devisa hingga 6x lipat lebih tinggi, hanya melalui pengembangan Semi Refined Carrageenan (SRC). Mayoritas dijual ke Cina untuk kemudian diolah lebih lanjut. Ironisnya, produkproduk hilir asal Cina mengalami re-ekspor dan diperdagangkan secara bebas di Indonesia dalam bentuk jelly, permen, soft capsule vitamin/obat, kosmetik, pasta gigi, media kultur bakteri hingga cat tembok.
Secara neraca terjadi negative feedback mechanism : terjebak dalam politik perdagangan global, terkait kondisi Indonesia sebagai segmen pasar prospektif bagi serbuan produk hilir, yang bahan bakunya justru kita produksi sendiri.

Terkait Gerakan PIJAR, tantangan terbesar saat ini terletak pada platform pengembangan. Orientasi pengembangan pada industri hulu semata, sejatinya tidak terlalu tepat, mengingat sektor ini sudah hampir khatam baik dari segi produksi maupun penguasaan teknologi. Pun tidak terlihat urgensi dari ekstensifikasi lahan. Jumlah lahan yang tergarap saat ini, sudah lebih dari cukup guna menyokong
pengembangan industri hilir skala besar di Provinsi NTB. Industri hulu hanya tinggal masalah set-up, sesuai kapasitas produksi yang diinginkan. Dalam catatan saya, kapasitas terbesar pabrik rumput laut di Indonesia saat ini, sekitar 500 kg rumput laut kering/hari ; sangat mudah untuk disuplai dari industri hulu. Yang minim mendapat perhatian justru pengembangan industri hilir, terutama industri hilir skala besar. Pengembangan industri skala rumah tangga, selama ini kerap terbentur pada kapasitas penyerapan bahan baku maupun output produk yang tidak kontinyu, baik jumlah maupun mutu.

Berkembangnya industri hilir, akan menimbulkan multiple effect ; mendongkrak harga beli bahan baku dari petani sehingga meningkatkan animo masyarakat pesisir untuk melakukan budidaya. Artinya, terjadi reposisi peran penyuluh yang selama ini terkesan mati suri. Inilah yang disebut sebagai konsepsi
“menarik”, bukan “mendorong”. Petani dengan sendirinya akan mendatangi penyuluh, karena melihat ada unsur benefit didalamnya…..

Klaster Aquabisnis : Solusi Penuh Tantangan

Konsep clustering, awalnya diterapkan pada sektor Perkebunan (komoditas kopi dan kakao). Implementasinya sejauh ini masih menyisakan permasalahan seputar base product oriented maupun ketimpangan kesejahteraan yang terlampau tinggi antara industri hulu dan hilir. Hal tersebut dapat dimaklumi, mengingat risk sharing modal masih sepenuhnya menjadi beban industri hilir, yang didominasi swasta dengan bentuk badan hukum PT, CV maupun Firma. Klaster aquabisnis, berupaya mengeliminir kelemahan tersebut dengan penekanan pada 2 (dua) aspek : menggunakan pendekatan kawasan dan reposisi kelembagaan (Koperasi). Pendekatan kawasan diartikan sebagai pembangunan industri hulu – hilir pada satu daerah secara terintegrasi. Sementara Koperasi lebih dititikberatkan sebagai bentuk hukum industri hulu dan hilir, dengan risk sharing terbatas serta mensupport adanya feedback secara materi, sesuai prosentase proporsional kepemilikan saham.

Adapun beberapa hal mendasar yang patut dipertimbangkan dalam implementasi clustering di Provinsi :

a.Dukungan Pendanaan

Sewaktu memaparkan konsep ini, muncul wacana untuk meng-UPT-kan industri hilir rumput laut, mengingat Koperasi yang ada saat ini, belum sepenuhnya mampu melakukan manajemen pabrikasi secara professional. Secara bertahap, dilakukan proses peralihan (gradual hand over) kepada Koperasi, melalui mekanisme privatisasi. Singkatnya, pembangunan UPT (Unit Pelaksana Teknis) sebagai Satuan Kerja (Satker) Diskanlut, yang secara khusus menangani pengolahan rumput laut menjadi produk SRC/RC. Terlepas dari perdebatan apakah Pemda juga mampu professional dalam manajemen pabrikasi, political will yang kuat dari pemangku kebijakan merupakan faktor kunci. Mengingat investasi awal clustering 4,09% dari potensi lahan di Kabupaten Lombok Timur, lengkap dengan 1 (satu) industri RC, membutuhkan dana ± 12,5 M. Khusus untuk industri RC, Pay Back Period positif terjadi pada tahun ke-5. Artinya, alokasi dana APBD/APBN yang tinggi untuk sebuah UPT yang baru bisa dikenai target PAD 5 tahun kemudian!!

b.Peraturan Daerah (Perda)

Berbicara mengenai Koperasi pada dasarnya berbicara mengenai pengembangan jangka
panjang, yang kerapkali terdeviasi dalam pola pengembangan instan. Produk Perda bertujuan untuk menciptakan iklim usaha pro Koperasi yang kondusif ; payung hukum dalam derivatisasi penjabaran teknis. Dalam catatan saya, terdapat beberapa point pokok yang membutuhkan regulasi secara definitif diantaranya :

- Pewajiban Koperasi sebagai bentuk badan hukum dalam investasi rumput laut. Include didalamnya mengenai peran industri hilir (Koperasi Sekunder) sebagai avalis/penjamin modal dari lembaga perbankan/non perbankan kepada industri hulu (Koperasi Primer), persentase minimal dalam recruitment tenaga lokal hingga persentase proporsional kepemilikan saham industri hulu (Koperasi Primer) sebagaimana diatur dalam PP 33/1998.

- Hubungan tripartit antara Pemda, Koperasi dan Perguruan Tinggi/Business Development Centre. Didalamnya mengatur mengenai komponen pengurang pajak, ppH khusus bagi Koperasi, hingga kontribusi silang ketiga komponen tersebut

- Standar harga bahan baku dan standar mutu. Hal ini dilatarbelakangi mekanisme penentuan harga bahan mentah rumput laut yang kurang transparan, terutama di tingkat pedagang pengumpul/pedagang besar, selaku agen exportir Bali/Surabaya. Didalamnya meliputi revisi terhadap SNI Rumput Laut Kering Tahun 1992 serta mekanisme pemantauan harga nasional. Khusus point terakhir, dapat dilakukan sendiri oleh Pemda, dengan memanfaatkan networking terminal informasi yang dikembangkan oleh Jasuda (akses http://www.jasuda.net).

- Regulasi-regulasi tambahan seperti dana bergulir (KUR), penggratisan perijinan Koperasi, hingga insentif-insentif khusus.

c.Dukungan Sarana Laboratorium Mutu Hasil Perikanan

Industri SRC/RC diprediksi akan terbentur pada aspek mutu, terutama Gel Strength (GS) sebagai parameter utama dalam penentuan harga. Pertanyaannya : bagaimana mekanisme legalisasi mutu SRC/RC yang berlangsung selama ini? Belum dilengkapinya Laboratorium Mutu Hasil Perikanan dengan alat pengukur Gel Strength (GS), menyebabkan penentuan mutu produk rumput laut kering maupun SRC/RC, sejauh ini bersifat monopolistik. Di Indonesia, alat pengukur GS (Texture Analyzer), hanya dimiliki oleh beberapa industri besar, Perguruan Tinggi serta 4 lembaga penelitian yang terpusat di Jawa. Harga alatnya relatif mahal (200 - 500 juta), dengan biaya pengujian berkisar antara Rp.60.000 – 100.000 per sampel. Kondisi ini kerapkali memunculkan potensi kecurangan, terutama akibat prosedur pengujian yang tidak standar (E 407/E 407a) maupun belum jelasnya status akreditasi peralatan yang dimiliki oleh industri besar. Kedepan diperlukan reposisi peran Laboratorium Mutu Hasil Perikanan sebagai second opinion yang diharapkan mampu meningkatkan nilai tawar produk.

d.Pembinaan Koperasi

Industri hilir berada selangkah lebih maju ; akibat trial error maupun interaksi langsung dengan perubahan keinginan pasar. Tanpa bermaksud meremehkan, sudah waktunya birokrasi mengintrospeksi diri dalam menyikapi kondisi SDM Penyuluh yang kerapkali kurang up to date dengan perkembangan industri terkini. Training of Trainee (pelatihan penyuluh) selama ini dikonsep dan dikerjakan sendiri, jarang melibatkan pihak-pihak berkompeten khususnya dari kalangan pengusaha maupun NGO. Hal ini menyebabkan missing link fungsi penyuluh, guna menjembatani kebutuhan yang berbeda antara industri hulu dan hilir. Contoh sederhana : kadar Salt and Sand (SS) serta Sand Determination (SD) maksimal yang dipersyaratkan, berturut-turut sebesar 28% dan 5%. Patut dipertanyakan, apa dampak yang terjadi pada industri hilir seandainya kadar SS dan SD lebih tinggi? Penambahan biaya sortasi, kalkulasi rasio berat bersih ataukah penurunan mutu produk SRC/RC? Pun terkait umur panen, dengan syarat 45-60 hari. Namun pada kenyataannya umur panen 30 hari masih laris manis di pasaran. Ada beberapa “trik” yang menyebabkan produk SRC/RC dari rumput laut 30 hari, hingga memiliki kualifikasi mutu yang serupa dengan SRC/RC dari rumput laut 45-60 hari. Perlu penjelasan yang fair dari pengusaha. Belum lagi munculnya istilah KUD (Ketua Untung Duluan), menunjukkan kelemahan pembinaan manajemen usaha Koperasi selama ini…… Idealnya, Pemda lebih banyak berperan dalam hal networking pasar maupun koordinasi. Langkah konkrit berupa pembentukan Koperasi Gabungan di Tingkat Provinsi sebagai media pemasaran bersama maupun akses e-bay dengan processor/solution provider/industri hilir pengguna domestik. Koordinasi vertikal sebagaimana diatur dalam PP 38/2007, menitikberatkan tugas pembinaan pada Kabupaten/Kota dari sumber pendanaan APBD. Koordinasi horizontal mencakup kolaborasi SKPD yang berkepentingan terutama Diskanlut dan Dinas Koperasi dalam melakukan terobosan pengembangan.

e.Awig Awig (Local Ordinance)

“Kita yang menanam rumput laut tapi belum tentu kita yang memanen”. Anekdot semacam itu, perlu disikapi melalui awig-awig sebagai instrumen pengontrol, mengingat potensi konflik horizontal yang tinggi terutama pada era otonomi daerah seperti sekarang. Dari segi definisi, awig-awig merupakan aturan yang dibuat berdasarkan kesepakatan masyarakat untuk mengatur masalah tertentu yang bertujuan untuk memelihara ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam awig-awig ditentukan apa saja perbuatan yang boleh dan yang dilarang, sanksi yang berlaku, serta orang atau lembaga yang diberikan wewenang oleh masyarakat untuk menjatuhkan sanksi. Awig-awig sebagai bagian hukum adat yang tumbuh di tengah masyarakat (living law), mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam menjamin keberhasilan implementasi klaster aquabisnis kedepan. Hal ini disebabkan karena dasar lahirnya aturan tersebut adalah kehendak dari masyarakat sendiri. Karena itu dalam pengelolaan klaster aquabisnis kedepan, harus menggunakan pendekatan partisipatif masyarakat setempat (desa) dengan menggunakan awig-awig sebagai instrumennya. Untuk memperoleh pengakuan masyarakat, awig-awig mengenai klaster aquabisnis, dapat dilakukan secara bertahap melalui sosialisasi program, diskusi dengan petani serta penetapan melalui rapat pleno.

Penutup

Berkaca dari Pemprov Sulawesi Utara saat mendeclare diri sebagai Provinsi rumput laut, mengambil langkah kongkrit dengan fokus program dan anggaran pada clustering rumput laut di 3 lokasi yakni Kota Bau-bau, Kota Kendari dan Kabupaten Kolaka. Bagaimana dengan kita? Mengutip dari Jasuda.net : sejatinya hanya tinggal memilih, bergerak cepat mengembangkan klaster aquabisnis rumput laut atau tetap membiarkan petani menikmati sedikit sekali, hasil dari kerja keras mereka….

* Penulis adalah Staf Bidang Budidaya Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB

Sabtu, 20 Maret 2010

SAATNYA PEMDA SERIUS DENGAN PEMBANGUNAN PERIKANAN

POTENSI BUDIDAYA LAUT JEPARA SEBAGAI RAKSASA TIDUR,….

Oleh : Cocon, S.Pi


Sektor perikanan budidaya nampaknya akan menjadi barometer pergerakan ekonomi nasional jika dikelola secara optimal. Seiring dengan target pencapaian peningkatan produksi perikanan budidaya yang dicanangkan Kementrian Kelautan dan Perikanan sampai dengan tahun 2014 sebesar 353 %, merupakan nilai yang dianggap oleh banyak kalangan terlalu ambisius. Namun melihat potensi yang ada Indonesia bukan tidak mungkin akan mampu mencapai target tersebut bahkan menjadi produsen perikanan terbesar di dunia. Salah satu komoditas budidaya laut yang paling memungkinkan untuk digarap secara maksimal adalah rumput laut Eucheuma cottoni, tahun ini Indonesia mampu menggeser posisi philipina sebagai produsen terbesar rumput laut dunia.

Klaster minapolitan sebagai kunci sukses

Target pencapaian produksi rumput laut yang menjadi target Kementrian KP sebesar 10 juta ton pada tahun 2014 akan mungkin bisa dicapai, melalui kerjasama dan komitmen semua stakeholder mulai dari pemerintah pusat/daerah sampai pelaku utama secara berkesinambungan. Sejalan dengan itu kebijakan strategis yang dijadikan senjata ampuh Kementrian KP adalah melalui pencanangan program minapolitan melalui pendekatan klaster. Pendekatan ini dinilai ampuh dalam mewujudkan pencapaian target di atas. Dalam pengembangan sumberdaya perikanan klaster minapolitan merupakan bentuk pendekatan yang berupa pemusatan kegiatan perikanan pada suatu lokasi tertentu, dengan memberdayakan subsistem-subsistem agrobisnis perikanan dari hulu sampai hilir serta jasa penunjang yang saling mendukung. Konsep inilah yang akan menjamin efesiensi dan efektifitas kegiatan usaha serta akan mampu meningkatkan daya saing produk perikanan.

Kaitannya dalam bisnis rumput laut Keberadaan tengkulak/pengepul seringkali dinilai kalangan merugikan pelaku utama dan tak sejalan dengan konsep klaster. Namun sesungguhnya tengkulak merupakan asset kluster yang keberadaannya patut untuk didukung. Hal ini karena dalam klaster dikenal zonasi, posisi tengkulak merupakan representasi Zona 2 setelah petani di Zona 1, sehingga posisi tengkulak tidak masalah karena titik ini akan menjadi mata rantai berjalannya bisnis rumput laut. Hanya saja pemerintah perlu mengadvokasi agar kemitraannya berjalan baik. Peran tengkulak seperti di Karimunjawa bukan hanya mensupport permodalan tapi juga berperan dalam menjaga kestabilan harga, kualitas produksi, pergudangan sehingga jalannya siklus terjaga karena sama-sama diuntungkan. Di Karimunjawa setiap pengepul mempuyai binaan sebanyak 20-40 pembudidaya dimana kemitraan berjalan secara alamiah. Sayangnya dari sisi kelembagaan masih belum terbangun secara kuat.

Peran pemerintah daerah masih minim

Konsep klaster minapolitan sebagai kunci sukses belum menjadi perhatian serius pemerintah daerah dan hanya dalam tataran wacana. Padahal potensi pengembangan rumput laut terutama Karimunjawa sangat besar dan sangat memungkinkan untuk ditingkatkan. Pemerintah daerah perlu segera menyusun regulasi yang strategis, mengingat sumberdaya rumput laut menjadi penting bagi hajat hidup masyarakat dan pendorong pergerakan ekonomi local. Peningkatan produksi rumput laut Karimunjawa belum maksimal dibanding potensi yang ada, yaitu rata-rata baru 60 ton/bulan dengan pemanfaatan potensi kurang dari 25%. Pemerintah daerah harusnya melihat kondisi ini sebagai sebuah peluang yang perlu digarap secara maksimal melalui penerapkan kebijakan strategis mulai dari pembinaan secara langsung sampai dengan dukungan penganggaran guna mempermudah akses produksi dan pasar secara luas. Penataan dari sisi kelembagaan kelompok maupun penunjang serta infrastruktur seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah, hal ini penting karena merupakan factor penentu terhadap jalannya siklus bisnis rumput laut maupun perikanan budidaya secara umum. Hasil rumusan bersama pada ajang focus group discussion pengembangan UMKM rumput laut yang melibatkan pihak Dislutkan, Bappeda, Din Kop UMKM dan Balitbang, serta stakeholder lain nampaknya sampai saat ini belum ada tanda – tanda implemantasi, lagi-lagi rumusan masih mandeg hanya dalam tataran konsep.

Potensi SDA laut khususnya rumput laut seharusnya menjadi unggulan daerah dan bisa ditawarkan dengan menggandeng pemerintah provinsi/pusat dan pihak investor. Disamping itu peran Perusahan Daerah (BUMD) sudah saatnya melirik terhadap peluang-peluang bisnis pada sector perikanan budidaya sehingga daya tawar (bargaining position) hasil produk budidaya akan meningkat. Pemerintah Daerah perlu segera melakukan akselerasi pembangunan perikanan budidaya secara nyata demi peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir dan pembangunan ekonomi daerah.