Selasa, 23 Maret 2010

WACANA PENGEMBANGAN RUMPUT LAUT


RUMPUT LAUT : MENGEJAR KETERTINGGALAN

(Oleh : Fuad Andhika Rahman, S.Pi, M.Sc)*


Mukadimah

Sebagai daerah dengan wilayah perairan yang mendominasi menjadikan potensi pengembangan rumput laut yang sangat tinggi. Pengembangan rumput laut dilakukan dengan pertimbangan : periode budidaya singkat (30 – 60 hari), transfer teknologi mudah, serta mampu melibatkan partisipasi aktif perempuan secara massal. Selain dipengaruhi oleh kenyataan bahwa komoditas ini belum memiliki kuota, baik di pasar domestik maupun internasional. Dengan prospek yang dimiliki, idealnya pengembangan rumput laut berdampak signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan petani. Namun kondisi yang terjadi justru bertolak belakang. Munculnya kontradiksi, tidak terlepas dari miss orientasi pengembangan, dimana masih terkonsentrasi pada industri hulu, dengan target utama trading rumput laut kering asalan. Belum mengerucut pada paradigma bagaimana menjadikan industri hilir (olahan rumput laut) sebagai tulang punggung penggerak ekonomi daerah, dengan industri hulu (budidaya) lebih ditempatkan sebagai industri komponen penunjang.

Dalam konteks gerakan PIJAR (Sapi, Jagung dan Rumput Laut) yang mulai didengungkan sebagai 3 komoditas andalan daerah, dirasa penting untuk melakukan telaah, terutama dari segi konsepsi. Mengingat rumput laut (terutama genus Eucheuma), ikut termaktub dalam Rencana Strategis (Renstra) Departemen Kelautan dan Perikanan 2005- 2009, dalam bentuk program klaster aquabisnis rumput laut.

Indonesia : Masih Bahan Mentah

Kondisi industri hilir rumput laut di Indonesia saat ini tergolong minim dan penyebarannya masih terkonsentrasi di beberapa kota besar seperti Surabaya, Ujung Pandang, Makassar dan Jakarta. Minimnya industri hilir dalam negeri, secara kalkulasi merugikan, terutama bagi industri hulu yang
mayoritas berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Akselerasi industri hulu yang tinggi tidak diimbangi dengan pengembangan industri hilir, sehingga secara simultan mendorong orientasi pemasaran (domestik/ekspor) dalam bentuk bahan mentah. Berkaca pada Filipina selaku pengimpor tetap rumput laut kering Indonesia, mampu menghasilkan devisa hingga 6x lipat lebih tinggi, hanya melalui pengembangan Semi Refined Carrageenan (SRC). Mayoritas dijual ke Cina untuk kemudian diolah lebih lanjut. Ironisnya, produkproduk hilir asal Cina mengalami re-ekspor dan diperdagangkan secara bebas di Indonesia dalam bentuk jelly, permen, soft capsule vitamin/obat, kosmetik, pasta gigi, media kultur bakteri hingga cat tembok.
Secara neraca terjadi negative feedback mechanism : terjebak dalam politik perdagangan global, terkait kondisi Indonesia sebagai segmen pasar prospektif bagi serbuan produk hilir, yang bahan bakunya justru kita produksi sendiri.

Terkait Gerakan PIJAR, tantangan terbesar saat ini terletak pada platform pengembangan. Orientasi pengembangan pada industri hulu semata, sejatinya tidak terlalu tepat, mengingat sektor ini sudah hampir khatam baik dari segi produksi maupun penguasaan teknologi. Pun tidak terlihat urgensi dari ekstensifikasi lahan. Jumlah lahan yang tergarap saat ini, sudah lebih dari cukup guna menyokong
pengembangan industri hilir skala besar di Provinsi NTB. Industri hulu hanya tinggal masalah set-up, sesuai kapasitas produksi yang diinginkan. Dalam catatan saya, kapasitas terbesar pabrik rumput laut di Indonesia saat ini, sekitar 500 kg rumput laut kering/hari ; sangat mudah untuk disuplai dari industri hulu. Yang minim mendapat perhatian justru pengembangan industri hilir, terutama industri hilir skala besar. Pengembangan industri skala rumah tangga, selama ini kerap terbentur pada kapasitas penyerapan bahan baku maupun output produk yang tidak kontinyu, baik jumlah maupun mutu.

Berkembangnya industri hilir, akan menimbulkan multiple effect ; mendongkrak harga beli bahan baku dari petani sehingga meningkatkan animo masyarakat pesisir untuk melakukan budidaya. Artinya, terjadi reposisi peran penyuluh yang selama ini terkesan mati suri. Inilah yang disebut sebagai konsepsi
“menarik”, bukan “mendorong”. Petani dengan sendirinya akan mendatangi penyuluh, karena melihat ada unsur benefit didalamnya…..

Klaster Aquabisnis : Solusi Penuh Tantangan

Konsep clustering, awalnya diterapkan pada sektor Perkebunan (komoditas kopi dan kakao). Implementasinya sejauh ini masih menyisakan permasalahan seputar base product oriented maupun ketimpangan kesejahteraan yang terlampau tinggi antara industri hulu dan hilir. Hal tersebut dapat dimaklumi, mengingat risk sharing modal masih sepenuhnya menjadi beban industri hilir, yang didominasi swasta dengan bentuk badan hukum PT, CV maupun Firma. Klaster aquabisnis, berupaya mengeliminir kelemahan tersebut dengan penekanan pada 2 (dua) aspek : menggunakan pendekatan kawasan dan reposisi kelembagaan (Koperasi). Pendekatan kawasan diartikan sebagai pembangunan industri hulu – hilir pada satu daerah secara terintegrasi. Sementara Koperasi lebih dititikberatkan sebagai bentuk hukum industri hulu dan hilir, dengan risk sharing terbatas serta mensupport adanya feedback secara materi, sesuai prosentase proporsional kepemilikan saham.

Adapun beberapa hal mendasar yang patut dipertimbangkan dalam implementasi clustering di Provinsi :

a.Dukungan Pendanaan

Sewaktu memaparkan konsep ini, muncul wacana untuk meng-UPT-kan industri hilir rumput laut, mengingat Koperasi yang ada saat ini, belum sepenuhnya mampu melakukan manajemen pabrikasi secara professional. Secara bertahap, dilakukan proses peralihan (gradual hand over) kepada Koperasi, melalui mekanisme privatisasi. Singkatnya, pembangunan UPT (Unit Pelaksana Teknis) sebagai Satuan Kerja (Satker) Diskanlut, yang secara khusus menangani pengolahan rumput laut menjadi produk SRC/RC. Terlepas dari perdebatan apakah Pemda juga mampu professional dalam manajemen pabrikasi, political will yang kuat dari pemangku kebijakan merupakan faktor kunci. Mengingat investasi awal clustering 4,09% dari potensi lahan di Kabupaten Lombok Timur, lengkap dengan 1 (satu) industri RC, membutuhkan dana ± 12,5 M. Khusus untuk industri RC, Pay Back Period positif terjadi pada tahun ke-5. Artinya, alokasi dana APBD/APBN yang tinggi untuk sebuah UPT yang baru bisa dikenai target PAD 5 tahun kemudian!!

b.Peraturan Daerah (Perda)

Berbicara mengenai Koperasi pada dasarnya berbicara mengenai pengembangan jangka
panjang, yang kerapkali terdeviasi dalam pola pengembangan instan. Produk Perda bertujuan untuk menciptakan iklim usaha pro Koperasi yang kondusif ; payung hukum dalam derivatisasi penjabaran teknis. Dalam catatan saya, terdapat beberapa point pokok yang membutuhkan regulasi secara definitif diantaranya :

- Pewajiban Koperasi sebagai bentuk badan hukum dalam investasi rumput laut. Include didalamnya mengenai peran industri hilir (Koperasi Sekunder) sebagai avalis/penjamin modal dari lembaga perbankan/non perbankan kepada industri hulu (Koperasi Primer), persentase minimal dalam recruitment tenaga lokal hingga persentase proporsional kepemilikan saham industri hulu (Koperasi Primer) sebagaimana diatur dalam PP 33/1998.

- Hubungan tripartit antara Pemda, Koperasi dan Perguruan Tinggi/Business Development Centre. Didalamnya mengatur mengenai komponen pengurang pajak, ppH khusus bagi Koperasi, hingga kontribusi silang ketiga komponen tersebut

- Standar harga bahan baku dan standar mutu. Hal ini dilatarbelakangi mekanisme penentuan harga bahan mentah rumput laut yang kurang transparan, terutama di tingkat pedagang pengumpul/pedagang besar, selaku agen exportir Bali/Surabaya. Didalamnya meliputi revisi terhadap SNI Rumput Laut Kering Tahun 1992 serta mekanisme pemantauan harga nasional. Khusus point terakhir, dapat dilakukan sendiri oleh Pemda, dengan memanfaatkan networking terminal informasi yang dikembangkan oleh Jasuda (akses http://www.jasuda.net).

- Regulasi-regulasi tambahan seperti dana bergulir (KUR), penggratisan perijinan Koperasi, hingga insentif-insentif khusus.

c.Dukungan Sarana Laboratorium Mutu Hasil Perikanan

Industri SRC/RC diprediksi akan terbentur pada aspek mutu, terutama Gel Strength (GS) sebagai parameter utama dalam penentuan harga. Pertanyaannya : bagaimana mekanisme legalisasi mutu SRC/RC yang berlangsung selama ini? Belum dilengkapinya Laboratorium Mutu Hasil Perikanan dengan alat pengukur Gel Strength (GS), menyebabkan penentuan mutu produk rumput laut kering maupun SRC/RC, sejauh ini bersifat monopolistik. Di Indonesia, alat pengukur GS (Texture Analyzer), hanya dimiliki oleh beberapa industri besar, Perguruan Tinggi serta 4 lembaga penelitian yang terpusat di Jawa. Harga alatnya relatif mahal (200 - 500 juta), dengan biaya pengujian berkisar antara Rp.60.000 – 100.000 per sampel. Kondisi ini kerapkali memunculkan potensi kecurangan, terutama akibat prosedur pengujian yang tidak standar (E 407/E 407a) maupun belum jelasnya status akreditasi peralatan yang dimiliki oleh industri besar. Kedepan diperlukan reposisi peran Laboratorium Mutu Hasil Perikanan sebagai second opinion yang diharapkan mampu meningkatkan nilai tawar produk.

d.Pembinaan Koperasi

Industri hilir berada selangkah lebih maju ; akibat trial error maupun interaksi langsung dengan perubahan keinginan pasar. Tanpa bermaksud meremehkan, sudah waktunya birokrasi mengintrospeksi diri dalam menyikapi kondisi SDM Penyuluh yang kerapkali kurang up to date dengan perkembangan industri terkini. Training of Trainee (pelatihan penyuluh) selama ini dikonsep dan dikerjakan sendiri, jarang melibatkan pihak-pihak berkompeten khususnya dari kalangan pengusaha maupun NGO. Hal ini menyebabkan missing link fungsi penyuluh, guna menjembatani kebutuhan yang berbeda antara industri hulu dan hilir. Contoh sederhana : kadar Salt and Sand (SS) serta Sand Determination (SD) maksimal yang dipersyaratkan, berturut-turut sebesar 28% dan 5%. Patut dipertanyakan, apa dampak yang terjadi pada industri hilir seandainya kadar SS dan SD lebih tinggi? Penambahan biaya sortasi, kalkulasi rasio berat bersih ataukah penurunan mutu produk SRC/RC? Pun terkait umur panen, dengan syarat 45-60 hari. Namun pada kenyataannya umur panen 30 hari masih laris manis di pasaran. Ada beberapa “trik” yang menyebabkan produk SRC/RC dari rumput laut 30 hari, hingga memiliki kualifikasi mutu yang serupa dengan SRC/RC dari rumput laut 45-60 hari. Perlu penjelasan yang fair dari pengusaha. Belum lagi munculnya istilah KUD (Ketua Untung Duluan), menunjukkan kelemahan pembinaan manajemen usaha Koperasi selama ini…… Idealnya, Pemda lebih banyak berperan dalam hal networking pasar maupun koordinasi. Langkah konkrit berupa pembentukan Koperasi Gabungan di Tingkat Provinsi sebagai media pemasaran bersama maupun akses e-bay dengan processor/solution provider/industri hilir pengguna domestik. Koordinasi vertikal sebagaimana diatur dalam PP 38/2007, menitikberatkan tugas pembinaan pada Kabupaten/Kota dari sumber pendanaan APBD. Koordinasi horizontal mencakup kolaborasi SKPD yang berkepentingan terutama Diskanlut dan Dinas Koperasi dalam melakukan terobosan pengembangan.

e.Awig Awig (Local Ordinance)

“Kita yang menanam rumput laut tapi belum tentu kita yang memanen”. Anekdot semacam itu, perlu disikapi melalui awig-awig sebagai instrumen pengontrol, mengingat potensi konflik horizontal yang tinggi terutama pada era otonomi daerah seperti sekarang. Dari segi definisi, awig-awig merupakan aturan yang dibuat berdasarkan kesepakatan masyarakat untuk mengatur masalah tertentu yang bertujuan untuk memelihara ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam awig-awig ditentukan apa saja perbuatan yang boleh dan yang dilarang, sanksi yang berlaku, serta orang atau lembaga yang diberikan wewenang oleh masyarakat untuk menjatuhkan sanksi. Awig-awig sebagai bagian hukum adat yang tumbuh di tengah masyarakat (living law), mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam menjamin keberhasilan implementasi klaster aquabisnis kedepan. Hal ini disebabkan karena dasar lahirnya aturan tersebut adalah kehendak dari masyarakat sendiri. Karena itu dalam pengelolaan klaster aquabisnis kedepan, harus menggunakan pendekatan partisipatif masyarakat setempat (desa) dengan menggunakan awig-awig sebagai instrumennya. Untuk memperoleh pengakuan masyarakat, awig-awig mengenai klaster aquabisnis, dapat dilakukan secara bertahap melalui sosialisasi program, diskusi dengan petani serta penetapan melalui rapat pleno.

Penutup

Berkaca dari Pemprov Sulawesi Utara saat mendeclare diri sebagai Provinsi rumput laut, mengambil langkah kongkrit dengan fokus program dan anggaran pada clustering rumput laut di 3 lokasi yakni Kota Bau-bau, Kota Kendari dan Kabupaten Kolaka. Bagaimana dengan kita? Mengutip dari Jasuda.net : sejatinya hanya tinggal memilih, bergerak cepat mengembangkan klaster aquabisnis rumput laut atau tetap membiarkan petani menikmati sedikit sekali, hasil dari kerja keras mereka….

* Penulis adalah Staf Bidang Budidaya Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB

Sabtu, 20 Maret 2010

SAATNYA PEMDA SERIUS DENGAN PEMBANGUNAN PERIKANAN

POTENSI BUDIDAYA LAUT JEPARA SEBAGAI RAKSASA TIDUR,….

Oleh : Cocon, S.Pi


Sektor perikanan budidaya nampaknya akan menjadi barometer pergerakan ekonomi nasional jika dikelola secara optimal. Seiring dengan target pencapaian peningkatan produksi perikanan budidaya yang dicanangkan Kementrian Kelautan dan Perikanan sampai dengan tahun 2014 sebesar 353 %, merupakan nilai yang dianggap oleh banyak kalangan terlalu ambisius. Namun melihat potensi yang ada Indonesia bukan tidak mungkin akan mampu mencapai target tersebut bahkan menjadi produsen perikanan terbesar di dunia. Salah satu komoditas budidaya laut yang paling memungkinkan untuk digarap secara maksimal adalah rumput laut Eucheuma cottoni, tahun ini Indonesia mampu menggeser posisi philipina sebagai produsen terbesar rumput laut dunia.

Klaster minapolitan sebagai kunci sukses

Target pencapaian produksi rumput laut yang menjadi target Kementrian KP sebesar 10 juta ton pada tahun 2014 akan mungkin bisa dicapai, melalui kerjasama dan komitmen semua stakeholder mulai dari pemerintah pusat/daerah sampai pelaku utama secara berkesinambungan. Sejalan dengan itu kebijakan strategis yang dijadikan senjata ampuh Kementrian KP adalah melalui pencanangan program minapolitan melalui pendekatan klaster. Pendekatan ini dinilai ampuh dalam mewujudkan pencapaian target di atas. Dalam pengembangan sumberdaya perikanan klaster minapolitan merupakan bentuk pendekatan yang berupa pemusatan kegiatan perikanan pada suatu lokasi tertentu, dengan memberdayakan subsistem-subsistem agrobisnis perikanan dari hulu sampai hilir serta jasa penunjang yang saling mendukung. Konsep inilah yang akan menjamin efesiensi dan efektifitas kegiatan usaha serta akan mampu meningkatkan daya saing produk perikanan.

Kaitannya dalam bisnis rumput laut Keberadaan tengkulak/pengepul seringkali dinilai kalangan merugikan pelaku utama dan tak sejalan dengan konsep klaster. Namun sesungguhnya tengkulak merupakan asset kluster yang keberadaannya patut untuk didukung. Hal ini karena dalam klaster dikenal zonasi, posisi tengkulak merupakan representasi Zona 2 setelah petani di Zona 1, sehingga posisi tengkulak tidak masalah karena titik ini akan menjadi mata rantai berjalannya bisnis rumput laut. Hanya saja pemerintah perlu mengadvokasi agar kemitraannya berjalan baik. Peran tengkulak seperti di Karimunjawa bukan hanya mensupport permodalan tapi juga berperan dalam menjaga kestabilan harga, kualitas produksi, pergudangan sehingga jalannya siklus terjaga karena sama-sama diuntungkan. Di Karimunjawa setiap pengepul mempuyai binaan sebanyak 20-40 pembudidaya dimana kemitraan berjalan secara alamiah. Sayangnya dari sisi kelembagaan masih belum terbangun secara kuat.

Peran pemerintah daerah masih minim

Konsep klaster minapolitan sebagai kunci sukses belum menjadi perhatian serius pemerintah daerah dan hanya dalam tataran wacana. Padahal potensi pengembangan rumput laut terutama Karimunjawa sangat besar dan sangat memungkinkan untuk ditingkatkan. Pemerintah daerah perlu segera menyusun regulasi yang strategis, mengingat sumberdaya rumput laut menjadi penting bagi hajat hidup masyarakat dan pendorong pergerakan ekonomi local. Peningkatan produksi rumput laut Karimunjawa belum maksimal dibanding potensi yang ada, yaitu rata-rata baru 60 ton/bulan dengan pemanfaatan potensi kurang dari 25%. Pemerintah daerah harusnya melihat kondisi ini sebagai sebuah peluang yang perlu digarap secara maksimal melalui penerapkan kebijakan strategis mulai dari pembinaan secara langsung sampai dengan dukungan penganggaran guna mempermudah akses produksi dan pasar secara luas. Penataan dari sisi kelembagaan kelompok maupun penunjang serta infrastruktur seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah, hal ini penting karena merupakan factor penentu terhadap jalannya siklus bisnis rumput laut maupun perikanan budidaya secara umum. Hasil rumusan bersama pada ajang focus group discussion pengembangan UMKM rumput laut yang melibatkan pihak Dislutkan, Bappeda, Din Kop UMKM dan Balitbang, serta stakeholder lain nampaknya sampai saat ini belum ada tanda – tanda implemantasi, lagi-lagi rumusan masih mandeg hanya dalam tataran konsep.

Potensi SDA laut khususnya rumput laut seharusnya menjadi unggulan daerah dan bisa ditawarkan dengan menggandeng pemerintah provinsi/pusat dan pihak investor. Disamping itu peran Perusahan Daerah (BUMD) sudah saatnya melirik terhadap peluang-peluang bisnis pada sector perikanan budidaya sehingga daya tawar (bargaining position) hasil produk budidaya akan meningkat. Pemerintah Daerah perlu segera melakukan akselerasi pembangunan perikanan budidaya secara nyata demi peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir dan pembangunan ekonomi daerah.

Rabu, 17 Maret 2010

KARIMUNJAWA SUPPLY BIBIT RUMPUT LAUT


KARIMUNJAWA SUPPLY BIBIT RUMPUT LAUT
KE PROVINSI BANGKA BELITUNG


Jepara- Melewati musim barat tahun ini secara umum aktivitas budidaya rumput laut Eucheuma cottoni di Kepulauan Karimunjawa sudah mulai kembali bergeliat. Aktivitas sebagian besar pada upaya pengembangan bibit dan saat ini telah memasuki proses produksi budidaya. Kegiatan budidaya rumput laut di Karimunjawa tersebar di beberapa pulau dimana yang mendominasi diantaranya di Pulau Karimunjawa, Pulau Nyamuk, Pulau Parang, dan Kemujan. Sudah tidak diragukan lagi kegiatan usaha ini menjadi barometer penggerak ekonomi masyarakat pesisir kepulauan Karimunjawa.

Makin maraknya kegiatan budidaya rumput laut di sebagian wilayah Indonesia, menuntut adanya ketersediaan bibit secara kontinyu dan berkualitas. Rumput laut di Karimunjawa sebagian besar adalah dari jenis Kappaphycus alvarezi strain maumerre dan philipina, jenis ini dikenal mempunyai keunggulan terutama dalam hal kecepatan pertumbuhan dan daya tahan terhadap fluktuasi lingkungan perairan. Sejalan dengan kondisi tersebut kebutuhan akan bibit rumput laut mengalami peningkatan yang signifikan tidak terkecuali untuk kebutuhan di Jawa Tengah , namun permintaan kebutuhan bibit mulai datang dari luar Provinsi salah satunya Provinsi Bangka Belitung. Provinsi Bangka Belitung melalui peran pemerintah daerah tengah melakukan upaya peningkatan produksi secara maksimal s/d tahun 2014.

Pengangkutan bibit ke Bangka Belitung dilakukan melalui transportasi laut dengan menempuh perjalanan 1-2 hr, namun demikian perlakuan selama perjalan sudah bias diantisipasi melalui sirkulasi air secara terus menerus dalam kapal. Dengan kemampuan supply bibit rumput laut ke Bangka Belitung, sudah tidak diragukan lagi bahwa rumput laut Jepara, khususnya Karimunjawa mampu bersaing secara kualitas.

Adanya permintaan kebutuhan bibit ke Provinsi Bangka Belitung, diakui sebagian besar pembudidaya di Pulau Nyamuk karimunjawa sangat menguntungkan dari sisi peningkatan pendapatan. “Harga bibit saat ini cenderung meningkat yaitu pada level harga Rp.2.000,-/kg di tingkat pembudidaya”, ujar salah seorang pembudidaya. Tidak terkecuali menurut Dwi Wismoyo, salah satu pelaku usaha, harga rumput laut juga telah mengalami kenaikan, ditingkat pembudidaya saat ini harga berkisal Rp.10.000,- s/d 11.000,-/kg. Apalagi diakui Dwi, kualitas rumput laut asal Karimunjawa kualitasnya baik dibanding daerah lain. “Ini hasil survey eksportir di Surabaya”, tuturnya.

Pengembangan rumput laut Karimunjawa hendaknya menjadi prioritas kebijakan strategis jangka pendek pihak pemerintah daerah, namun sayangnya sampai saat ini peran pemerintah daerah belum menampakan peran yang dominan dalam pencapaian target peningkatan produksi rumput laut. Peran lebih didominasi oleh peran para pengepul yang bermitra dengan pembudidaya. “ Harusnya pihak pemerintah, turut memfasilitasi kebutuhan dan menjadi mitra setia para pembudidaya “, tutur Purbo, Ketua kelompok Bina Karya.

Rabu, 10 Maret 2010

PROSEDUR PENGANGKUTAN BIBIT RUMPUT LAUT


Alternatif pengangkutan bibit Rumput Laut Eucheuma cottoni


A.Melalui transportasi darat

Lama perjalanan darat 6-20 jam

1.Pengangkutan dilakukan menggunakan truk sesuai dengan kapasitas bibit (4-8 ton).

2.Dasar bak truk di alasi terpal besar sehingga menutupi seluruh bak truk.(terpal dimaksudkan agar bibit terhindar dari pengaruh hujan dan panas matahari)

3.Pada alas bak dilapisi lapisan busa (ukuran ketebalan 1-2 cm), yang sebelumnya dilembabkan dengan air laut (perlakuan ini dimaksudkan agar kondisi rumput laut tetap segar).

4.Bibit rumput laut dimasukan secara curah, setiap ketinggian lapisan bibit 30-50 cm dilapisi oleh lapisan busa yang sudah dilembabkan sampai dengan lapisan busa terakhir sebagai penutup.

5.Setelah bibit dimasukan ke dalam truk, selanjutnya bak truk ditutup rapat dengan lapisan terpal untuk menghindari panas matahari dan hujan.

6.Sesampai di lokasi. Bibit segera diadaptasikan dan diseleksi pada penampungan yang telah disiapkan di laut. Penampungan dapat menggunakan waring/jaring. Dan selanjutnya segera dilakukan penanaman.


B.Melalui transportasi udara

1.Wadah bibit menggunakan Styrofoam standar garuda, pada lapisan dasar dilapisi busa/kapas yang sudah dilembabkan dengan air laut.

2.Taruh bibit rumput laut yang telah diseleksi, setiap ketinggian lapisan bibit 10 cm dilapisi oleh lapisan busa/kapas yang telah dilembabkan. Kapasitas bibit per-wadah Styrofoam sekitar 10-17 kg.

3.Pada tutup Styrofoam diberi lubang kecil (ukuran jarum) untuk sirkulasi udara.

4.Sesampai di lokasi. Bibit segera diadaptasikan dan diseleksi pada penampungan yang telah disiapkan di laut. Penampungan dapat menggunakan waring/jaring. Dan selanjutnya segera dilakukan penanaman

PENGEMBANGAN RUMPUT LAUT


KELOMPOK PEMBUDIDAYA RUMPUT LAUT
TANDA TANGANI KERJASAMA KEMITRAAN



Jepara- Menindaklanjuti wacana awal mengenai kerjasama kemitraan budidaya rumput laut di pesisir Jepara Daratan, baru-baru ini telah dilakukan penanda tanganan kerjasama kemitraan antara CV. Kita Berdikari dengan 2 (dua) kelompok pembudidaya yaitu Kelompok Pembudidaya Bina Karya yang beralamat di Desa Bandengan dan kelompok pembudidaya sido makmur desa Teluk Awur. Kegiatan penandatangan dilakukan pada tanggal 27 Februari disaksikan oleh perwakilan Dinas, pihak perusahaan dan staf Direktorat Produksi-DJPB.

Rudi P, Direktur CV. Berdikari mengatakan bahwa kerjama kemitraan ini diharapkan akan berjalan secara berkelanjutan dengan mengutamakan keuntungan pada kedua belah pihak. Pada tahap awal rencana pengembangan pada dua lokasi yaitu perairan Bandengan dan Teluk Awur masing-masing seluas 1 Ha lahan budidaya dengan target produksi awal minimal sebesar 60 ton berat basah. Ditambahkan Rudi, pengembangan lahan tidak berhenti pada jumlah tersebut namun akan terus diupayakan untuk melakukan pengembangan lahan dengan sasaran jumlah pembudidaya yang lebih besar sehingga kedepan potensi lahan dapat dimanfaatkan secara maksimal.

Menurut Adi sasongko, Kasie Bina Usaha dan Budidaya Dislutkan Kab. Jepara, Pola kerjasama kemitraan ini diharapkan akan menjadi titik awal yang baik bagi pengembangan kawasan budidaya rumput laut di Pesisir Jepara Daratan. Sasaran awal pengelolaan lahan per-pembudidaya sebanyak 10 tali dengan kapasitas produksi sebesar 3 ton basah, nilai ini dianggap telah memenuhi target minimal kelayakan usaha per pembudidaya. Kerjasama kemitraan ini juga disambut baik para pembudidayaan, hal ini bias dilihat dari antusiasme masyarakat sekitar untuk melakukan budidaya rumput laut. Apalagi beberapa waktu lalu pembudidaya di Bandengan mampu melakukan panen dengan hasil memuaskan.

Kaitanya dengan akses pasar, kedua belah pihak sepakat bahwa jaminan pasar sepenuhnya akan dikoordinasikan oleh pihak perusahaan. Selain itu guna memantau kualitas hasil produksi, direncanakan akan dibangun unit penjemuran system para-para di sekitar lokasi budidaya.

Kamis, 14 Januari 2010

PENGENDALIAN HAMA PADA BUDIDAYA Eucheuma cottoni


Hama yang menyerang tanaman budidaya rumput laut berdasarkan ukuran hama dikelompokan menjadi dua bagian, yaitu hama mikro (micro grazer) dan hama makro (macro grazer) (Doty, 1987)

Hama

Hama mikro

Merupakan organism laut yang umumnya berukuran panjang ≤ 2 cm, hidup menempel pada thallus tanaman rumput laut dan biasanya tidak tampak pada rumput laut yang sehat. Hama mikro yang sering dijumpai misalnya :

Larva Bulu Babi, organisme ini bersifat planktonik, melayang-layang di air dan kemudian menempel pada rumput laut. Organisme ini menutupi permukaan thallus dan menyebabkan thallus berwarna kuning

Larva Tripang, merupakan organism planktonis yang menempel dan menetap pada thallus rumput laut. Larva ini kemudian tumbuh dan menjadi besar. Larva teripang yang sudah besar dapat memakan thallus rumput laut dengan cara menyisipkan ujung-ujung cabang rumput laut ke dalam mulutnya

Lumut Kutu, berwarna coklat kehitaman dengan ukuran yang kecil seperti rambut, biasanya menempel dan menembus jaringan thallus rumput laut menyebabkan terhambatnya penetrasi cahaya matahari sehingga batang/thallus rumput laut membusuk dan rontok. Tingkat Penyebaran yang cepat dan menjadi penyebab kerusakan masal pada budidaya rumput laut.

Pengendalian terhadap hama mikro yaitu dengan intensif membersihkan rumput laut, khusus untuk hama lumut kutu dapat ditanggulangi dengan melakukan perendaman selama 2-3 menit dalam larutan rinso seperti yang dilakukan oleh pembudidaya rumput laut di Karimunjawa, Jepara. Pencegahan dilakukan dengan menentukan lokasi budidaya yang efektif terutama lokasi yang cukup dalam dengan arus yang cukup.

Hama makro

Beberapa hama makro yang sering ditemui menyerang rumput laut antara lain :

Ikan Beronang (siganus spp), merupakan hama perusak terbesar pada budidaya rumput laut. Benih ikan beronang mempunyai sifat bergerombol merupakan hama yang paling serius penyerangannya. Ikan ini menyerang seluruh thallus bagian luar, akibatnya rumput laut hanya tertinggal kerangkanya saja. Serangan ikan beronang bersifat musiman terutama pada musim benih, sehingga di setiap daerah waktu serangannyapun berbeda. Di pesisir Jepara ikan beronang menyerang pada bulan April-Juni. Penaggulangannya yaitu dengan mengatur waktu penanaman. Menggeser lokasi budidaya pada lokasi yang dalam, dengan cukup arus serta menghindar dari lokasi terumbu karang mampu meminimalisir dampak ikan beronang. Penanaman secara masal juga dapat mengurangi serangan hama ikann.

Penyu Hijau (Chelonia midas), merupakan hama yang merusak tanaman budidaya rumput laut yang paling ganas. Penyu hijau biasanya menyerang pada malam hari. Hama ini dapat memangsa habis tanaman budidaya pada areal yang tidak terlalu luas. Tanda-tanda tanaman rumput laut terserang penyu hijau adalah tanaman hanya tertinggal pada ikatan tali saja dan tampak bekas seperti dipotong benda tajam. Cara menaggulangi serangan penyu hijau terhadap tanaman rumput laut dilakukan dengan melindungi areal budidaya dengan jarring. Serangan akan tampak pada daerah tepi atau dekat dengan perbatasan perairan dalam. Pengalaman pembudidaya di Sekotong Lombok Barat, bahwa pemakaian metode rakit apung dengan jarak tanam antar tali ris yang rapat mampu mencegah serangan hama penyu hijau.

Bulu Babi (Diadema), merupakan hama yang merusak bagian tengah thallus. Serangan bulu babi dapat mengakibatkan bagian cabang-cabang utama thallus terlepas dari tanaman induk. Serangan bulu babi pengaruhnya relative kecil dan tidak terasa terutama pada areal budidaya yang cukup luas. Hama bulu babi tidak menyerang rumput laut yang jauh dari dasar perairan.

Bintang Laut (Protoneostes), merupakan hama yang mempunyai kemampuan memanjat pada tanaman rumput laut dan dapat menutupi cabang-cabangnya. Cabang yang ditutupi/ditempeli oleh bintang laut akan mati serta banyak percabangan yang patah. Serangan bulu babi pengaruhnya relative kecil dan tidak terasa terutama pada areal budidaya yang cukup luas. Hama bulu babi tidak menyerang rumput laut yang jauh dari dasar perairan.

Selasa, 12 Januari 2010

SEKTOR PERIKANAN BUDIDAYA MENDAPAT PRIORITAS

Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) akan mendorong Sektor Perikanan ini. Caranya dengan dengan meningkatkan anggaran untuk sektor ini. Kenaikan Produksi ikan budidaya merupakan program utama Kementeriaan Kelautan dan Perikanan sampai tahun 1014" kata Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad.

Semula anggaran untuk sektor perikanan budidaya ini hingga 2014 hanya 500 miliar. Tapi, anggaran ini akan mendapatkan tambahan lagi. " Dana sebagian unit lain dialihkan untuk mendukung produksi budidaya. "tambahnya.
Nantinya, DKP akan menyalurkan dana tersebut di antaranya untuk para pembudidaya ikan lele, ikan patin, kerapu, dan rumput laut.Fadel mengakui, dirinya memperlakukan secara istimewa perikanan budidaya ketimbang perikanan tangkap. Soalnya, perikanan budidaya memiliki masa depan yang lebih cerah dibanding dengan perikanan tangkap yang hanya tergantung pada sumber daya alam di laut.

Sementara itu, Made L. Nurdjana, Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, menjelaskan, jumlah anggaran yang akan disalurkan tahun 2010 adalah 188 Miliar.
Menurut Made, tahun 2010 ini pertumbuhan produksi ikan budidaya masih akan relatif kecil karena program peningkatan produksi baru mulai dilaksanakan. "Secara keseluruhan tingkat kenaikan rata-rata tahun ini diprediksi mencapai 12%. Untuk rumput laut naik 4% sedangkan produksi udang windu naik 17%, jelasnya.

Pada tahun 2009 lalu, pemerintah menargetkan produksi rumput laut 2.574.000 ton, ikan patin 132.600 ton, lele 200.000 ton, ikan nila 378.300 ton, bandeng 291.300 ton, dan udang windu 123.100 ton. Nah, target tahun 2010 ini lebih tinggi lagi. Target produksi rumput laut, misalnya, meningkat menjadi 2.672.800 ton. Sementara, produksi ikan patin, lele, dan nila masing-masing menjadi 225.000 ton, 270.000 ton, dan 491.800 ton.

Sumber : Harian Kontan Tanggal 7 Januari 2010 Hal.13