Selasa, 16 Agustus 2011

STATUS RUMPUT LAUT INDONESIA


STATUS RUMPUT LAUT INDONESIA
PELUANG DAN TANTANGAN


Oleh : Cocon, S.Pi*)


Sebagai bagian dari Coral Triangel, Indonesia memang disuguhi begitu besar potensi perairan dengan segenap sumberdaya dan keanekaragaman hayati yang ada. Rumput laut salah satu komoditas yang saat ini menjadi trend di pasar perdagangan global pun mampu tumbuh subur di perairan bumi pertiwi ini. Sumber dari SEAplant.net menyebutkan bahwa perairan Indonesia hampir menguasai 65 % potensi perairan coral tri angel yang potensial untuk tumbuh kembangnya berbagai jenis rumput laut khususnya jenis Kappaphycus alvarezii, jauh mengungguli potensi negara-negara lainnya yaitu berturut-turut Philipina sebesar 15%, Kepulauan Solomon 7%, Malaysia 5%, Papua Nugini 5% dan Timor Leste sebesar 1%. Berbagai jenis rumput laut ekonomis tinggi dan telah berhasil dibudidayakan di Perairan Indonesia secara umum berasal dari jenis alga merah (Rhodophyceae) antara lain Eucheuma cottonii / Kappaphycus alvarezii doty, E. Spinosum, dan Gracilaria sp; Ptylopora dan Halymenia sp

Dari aspek pasar menunjukan bahwa perkembangan pasar rumput laut di perdagangan global menunjukkan trend kenaikan yang cukup tinggi, seiiring dengan peningkatan kebutuhan bahan baku industri baik untuk food grade, pharmaeutical maupun industryal grade. Pertumbuhan penduduk dunia yang semakin pesat dan Kompleksitas nilai guna rumput laut yang begitu besar sebagai penunjang kebutuhan hidup masyarakat dunia, maka tidak heran memang jika saat ini rumput laut menjadi komoditas yang prospektif dan telah menjadi bagian dari kebutuhan global. Betapa tidak sejak kita bangun tidur sampai pada saat melakukan aktivitas, sebenarnya kita telah terbiasa menggunakan produk berbahan baku rumput laut.

Indonesia memanfaatkan peluang

Membangun sebuah cita-cita memang harus bermula dari mimpi besar, sejatinya itulah yang saat ini sudah mulai dibangun Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementrian Kelautan dan Perikanan melalui penetapan Visi menjadikan Indonesia sebagai penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar dunia tahun 2015. Visi yang oleh beberapa kalangan dianggap terlalu ambisius. Ya, mungkin itu persepsi dari sebagian masyarakat awam yang memandangnya sebagai sesuatu hal yang maustahil mampu dicapai. Namun demikian, satu hal yang perlu dicatat, bahwa sejak orientasi arah pembangunan saat ini mulai digerakan terhadap pendekatan pembangunan wilayah kepulauan (islands development approaches), maka sudah saatnya pembangunan berbasis Kelautan dan Perikanan menjadi tumpuan utama dalam rangka membangun pergerakan ekonomi nasional. Indonesai dengan segenap potensi sumberdaya kelautan dan perikanan, memang menjadi senjata ampuh dalam upaya pencapaian visi tersebut. Dengan potensi pengembangan budidaya air laut sebesar 8,4 juta hektar, bukan hal mustahil mimpi besar itu mampu dicapai jika semua elemen bangsa mempunyai mimpi besar yang sama yang terimplementasi melalui kerjasama sinergi dalam upaya memanfaatkan sumberdaya perairan yang ada.

Dalam upaya pencapaian Visi dan Misi tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menetapkan komoditas unggulan yang menjadi sasaran utama, dimana komoditas rumput laut menjadi salah satu ikon yang diharapkan mampu mewujudkan mimpi besar Indonesia. Tahun ini Indonesia mampu menggeser pesaing utamanya Philipina sebagai produsen rumput laut terbesar dunia dengan total produksi di Tahun 2010 mencapai 3.082.113 ton atau menguasai sekitar 50% produk rumput laut hasil budidaya di dunia yaitu untuk jenis Eucheuma, Gracilaria dan Kappaphycus. Sebuah keberhasilan tentunya yang diperlihatkan pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Bicara peluang terhadap pasar perdagangan rumput laut dunia, Indonesia berada pada posisi yang mempunyai peluang besar dalam memasok kebutuhan bahan baku rumput laut. Sebagai gambaran Tahun 2010 peluang kebutuhan rumput laut Eucheuma cottonii dunia mencapai 274.100 ton, dimana Indonesia mempunyai peluang memberikan kontribusi ekspor sebesar 80.000 ton atau sekitar 29,19% , sedangkan peluang kebutuhan dunia akan rumput laut jenis Gracilaria sp mencapai 116.000 ton, dimana Indonesia mempunyai peluang kontribusi sebesar 57.500 atau sekitar 49,57% (sumber : BPPT dan ISS, 2006).

Proyeksi dan pencapaian produksi rumput laut Indonesia

Jika mengacu pada visi dan misi Kementerian Kelautan dan Perikanan, maka hal yang paling mungkin untuk didorong peningkatannya dalam upaya pencapaian target tersebut adalah sub sektor perikanan budidaya. Inilah, yang saat ini menjadi Pekerrjaan Rumah yang besar bagi Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya dalam upaya menopang terwujudnya mimpi besar Indonesia sebagai penghasil produk perikanan terbesar dunia. Ditjen Perikanan Budidaya telah menetapkan adanya target pencaiapan produksi sebesar 353% sampai dengan tahun 2014 khususnya bagi komoditas yang menjadi unggulan saat ini, dimana rumput laut menjadi penyumbang besar target pencapaian produksi tersebut yaitu ditargetkan peningkatannya sebesar 10 juta ton di Tahun 2014 .

Produksi rumput laut diproyeksikan rata-rata meningkat pertahun sebesar 32 % (dari Tahun 2010-2014) atau meningkat sebesar 392% dari Tahun 2009 ke Tahun 2014. Proyeksi tersebut masing-masing berturut-turut Tahun 2009 diproyeksikan meningkat menjadi sebesar 2.574.000, Tahun 2010 sebesar 2.672.800 ton, Tahun 2011 sebesar 3.504.200 ton, Tahun 2012 sebesar 5.100.000 ton, tahun 2013 sebesar 7.500.000 ton dan Tahun 2014 sebesar 10 juta ton. Data statistik menunjukkan bahwa Tahun 2010 produksi rumput laut Nasional mencapai 3.082.113 ton mengalami kenaikan rata-rata sebesar 23% per tahun. Nilai ini mampu melampaui target/sasaran produksi Tahun 2010 sebesar 15 % dari target di Tahun yang sama sebesar 2.672.800 ton. Nilai tersebut tentunya menjadi salah satu indikator bahwa langkah menuju target 10 juta ton di Tahun 2014 sangat optimis untuk dicapai. Total produksi rumput nasional tersebut masih didominasi oleh 5 (lima) besar Provinsi utama penghasil rumput laut berturut-turut Sulawesi Selatan, NTT, Bali, Sulawesi Tengah dan NTB.

Peningkatan produksi rumput laut Nasional diiringi pula oleh peningkatan volume dan nilai ekspor rumput laut Indonesia ke berbagai negara tujuan utama ekspor seperti China, Philipina, Vietnam, Hongkong dan Korsel. Perkembangan volume dan nilai ekspor dalam kurun waktu Tahun 2005 sampai dengan Tahun 2010 secara umum mengalami kenaikan. Tahun 2010 volume ekspor rumput laut Indonesia (rumput laut kering, karaginan dan agar) mencapai 126.177.521 kg meningkat sebesar 34% dari tahun sebelumnya yang mencapai angka 94.002.964 kg. Sedangkan nilai ekspor Tahun 2010 mencapai sebesar 155.619.562 US$ meningkat 77 % Jika dibandingkan dari total nilai ekspor tahun sebelumnya yang mencapai 87.773.297 US$ (Sumber : Statistik Ekspor-Impor Produk Perikanan tahun 2010). Sebagai gambaran bahwa peluang kebutuhan hydrokoloid dunia sampai dengan Tahun 2010 untuk produk karaginan (RC) mencapai 31.800 ton sedangkan untuk agar mencapai 18.120 (Sumber: Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 2006). Nilai tersebut diprediksi akan mengalami kenaikan secara signifikan seiring semakin pesatnya pertumbuhan penduduk dunia yang sudah barang tentu diiringi oleh semakin tingginya tuntutan kebutuhan hidup masyarakat.

Staregi dasar pencapaian peningkatan produksi rumput laut

Upaya pemanfaatan potensi sumberdaya rumput laut Indonesia sebagai bentuk konkrit dalam rangka mewujudkan target pencapaian produksi, memang menjadi pekerjaan rumah bersama yang harus segera diselesaikan melalui kerjasama sinergi antara stakeholders yang terlibat. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya dalam hal ini telah menetapkan strategi dasar sebagai upaya mengoptimalkan pemanfaatan potensi dan pengembangan kawasan budidaya rumput laut di Indonesia.

Startegi dasar tersebut meliputi : 1). Kebijakan Ektensifikasi, diarahkan dalam upaya memperluas dan mengembangkan jumlah unit lahan budidaya, khususnya pada kawasan-kawasan startegis dan potensial untuk pengembangan rumput laut di Indonesia; 2). Kebijakan Intensifikasi, diarahkan dalam upaya mengembangkan input teknologi budidaya yang secara langsung berdampak terhadap peningkatan jumlah unit budidaya dan kapasitas produksi; 3). Kebijakan Diversifakasi, diarahkan dalam upaya memperkenalkan dan mengembangkan jenis-jenis rumput laut komersial yang mempunyai nilai ekonomis dan peluang pasar yang luas. Melalui UPT Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, saat ini telah mampu memperkenalkan dan membudidayakan jenis rumput laut baru selain Kappaphycus alvarezii, antara lain Ptylopora sebagai bahan baku kertas yang telah berhasil dikembangkan di Bali dan Lombok, Halymenia sp sebagai penghasil lamba karaginan dan telah berhasil di budidayakan di Bali dan NTT (Kabupaten Rote Ndao). Jenis baru ini diharapkan akan mampu dikembangkan di Perairan lain di Indonesia melalui alih terap teknologi budidaya terhadap masyarakat pembudidaya.

Melihat rumput laut menjadi komoditas unggulan nasional dan telah secara nyata mampu menggerakan ekonomi lokal, regional dan nasional serta menjadi salah satu kegiatan usaha yang mampu menyentuh peran pemberdayaan masyarakat secara luas, maka kebijakan industrialisasi rumput laut saat ini telah menjadi issue penting dan telah ditindak lanjuti melalui nota kesepahaman mengenai pengembangaan kawasan budidaya dan industri rumput laut di 7 Propinsi yakni Propinsi NTT, NTB, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan. Nota kesepahamn tersebut dibangun dengan melibatkan 6 lembaga/kementerian yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian PDT, Kementeria Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan UMKM, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Strategi pengembangan teknologi berbasis mutu dan keamanan pangan (food safety)

Pencaiapan target peningkatan produksi rumput laut, bukan berarti dalam perjalanannya tidak mengalami kendala, namun demikian pada kenyataanya kendala tersebut seringkali muncul dan berpotensi menghambat proses pengembangan rumput laut Indonesia. Permasalahan utama yang saat ini dihadapi terkait : 1) permasalahan ketersediaan bibit bermutu dimana saat ini mulai terjadi degradasi kualitas bibit pada beberapa kawasan budidaya; 2) permasalahan jaminan mutu hasil produksi budidaya yang berpotensi mengganggu rantai pasok (suplly chain) rumput laut; 3) Penerapan teknologi belum yang sepenuhnya menerapkan terwujudnya quality assurance, apalagi food safety, dan traceability ; 4) permasalahan terhadap pengendalian hama penyakit maupun dampak lingkungan perairan yang fluktuatif.

Dalam upaya menjawab permasalahan teknologi budidaya di atas, Ditjen Perikanan Budidaya telah melakukan langkah kebijakan konkrit yang secara langsung menopang terhadap peningkatan produksi rumput laut, antara lain:

Pertama, penerapan teknologi budidaya berkelanjutan melalui penerapan prinsip-prinsip Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB) pasa setiap proses produksi. Direktorat Produksi Tahun 2010 telah membuat acuan penerapan pelaksanaan CBIB serta petunjuk teknis penilaian sertifikasi CBIB budidaya rumput laut, sehingga diharapkan ke depan telah mulai berkembang unit usaha budidaya rumput laut yang tersertifikasi.

Kedua, Penyediaan bibit rumput laut yang berkualitas, melalui pengembangan kebun bibit rumput laut di kawasan sentral budidaya rumput laut serta kebijakan alokasi subsidi bibit rumput laut.

Ketiga, Pembinaan intensif secara berkelanjutan baik teknis maupun non teknis. Upaya tersebut dalam bentuk monitoring, evaluasi, kegiatan temu lapang, serta kegiatan lain yang secara langsung mendukung aktivitas usaha budidaya;

Ke-empat, Dukungan dana penguatan modal, upaya tersebut melalui alokasi DPM, Paket Wirausaha, subsidi benih ,PUMP, , peluncuran skame kredit semisal KUR dan KPPE. Dimana upaya tersebut dalam rangka memberikan stimulan yang secara langsung mendukung peningkatan kapasitas usaha Pokdakan rumput laut;

Ke-lima, Pengembangan kawasan pembudidayaan secara bertahap , yaitu melalui pengembangan kawasan minapolitan budidaya, membangun pendekatan akuabisnis serta mendorong terbangunya pola kemitraan usaha yang berkelanjutan. Ditjen Perikanan Budidaya telah menetapkan 24 Kabupaten/Kota sebagai sasaran percontohan minapolitan budidaya, dimana sebanyaak 6 Kabupaten Kota diarahkan untuk pengembangan rumput laut yakni Kabupaten Serang (Banten), Kabupaten Pandeglang (Banten), Kabupaten Sumbawa (NTB), Kabupaten Sumba Timur (NTT), Kabupaten Morowali (Sulawesi Tengah), Kabupaten Pahuwato (Gorontalo)

Ke-enam, membangun kerjasama, sinergitas, persamaan persepsi dan tanggungjawab bersama antara seluruh stakeholders dalam upaya pengembangan rumput laut nasional melalui kegiatan Forum Budidaya Rumput laut. Direktorat Produksi telah menetapkan kegiatan “Forum Rumput Laut Nasional” sebagai agenda tahunan. Dimana hasil rumusan kegiatan tersebut diharapkan akan menjadi bahan acuan dan rekomendasi dalam menentukan langkah kebijakan strategis bagi pengembangan rumput laut Nasional. Tahun 2010 telah diselenggarakan Forum Rumput Laut di Propinsi Bali dengan fokus terhadap upaya pengembangan jenis rumput laut Halymenia sp, sedangkan Tahun 2012 Forum Rumput Laut Nasional direncanakan dilaksanakan di Propinsi NTB dimana diharapkan akan mampu menjawab peluang, tantangan dan permasalahan bisnis perumput lautan Indonesia.

Produksi VS rantai pasok (suplly chain)

Pencapaian produksi yang menjadi kinerja Ditjen Perikanan Budidaya, ternyata belum sepenuhnya diimbangi oleh mulusnya perputaran rantai pasok pada sebagian kawasan pengembangan. Kondisi rantai pasok hasil produksi rumput laut masih menjadi permasalahan yang berpotensi menghambat jalannya siklus aquabisnis rumput laut. Kondisi ini secara umum masih terjadi di beberapa kawasan sentral produksi rumput laut. Masih adanya Inkonsistensi yang mencakup Jaminan kontinyuitas penyerapan produksi, stabilitas harga dan jaminan kualitas produksi masih menjadi penghambat mata rantai produksi, dimana fenomena ini terjadi karena masih munculnya permasalahan pasar di level zona I (pembudidaya) dan zona II (pengepul). Beberapa industri nasional mengaku bahwa saat ini seringkali terjadi kompetisi pasar yang tidak sehat, dimana saat ini harga pasar masih dikendalikan pihak eksportir yang lebih parah dengan masuknya para spekulan yang masuk dan melakukan pembelian langsung di tingkat pembudidaya. Kondisi ini berpotensi industri nasional akan sulit bersaing dalam melakukan penyerapan produk dari hulu.

Kebijakan pembatasan ekspor rumput laut dalam bentuk raw material merupakan langkah baik, namun demikian sejatinya pembatasan ekspor rumput laut tersebut hendaknya diimbangi oleh kemampuan penyerapan bahan baku oleh Industri Nasional. Langkah awal yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan pemetaan kebutuhan bahan baku rumput laut serta jumlah/kemampuan industri nasional dalam melakukan penyerapan produksi dari pembudidaya. Upaya tersebut dalam rangka menjamin keseimbangan antara produksi yang dihasilkan pembudidaya (hulu) dengan jaminan penyerapan produksi yang ada di hilir (industri). Disamping itu Industri Nasional perlu didorong agar pro aktif melakukan kontrol langsung terhadap spesifikasi mutu yang dihasilkan pembudidaya. Konsep iPasar yang diharapkan mampu menjawab permasalahan rantai pasok rumput laut Indonesia perlu segera diiplementasikan terutama di sentra-sentra produksi rumput laut, langkah awal yang perlu dilakukan adalah melakukan sosialisasi secara menyeluruh terhadap stakeholders terkait mekanisme dan konsep iPasar sehingga diharapkan akan terbangun persamaan persepsi guna menghindari image negatif di kalangan pelaku usaha terkait peran iPasar.

Pentingnya Kelembagaan dalam aquabisnis rumput laut

Kenapa Kelembagaan yang penulis tekankan, dan apa pula hubungannya dengan siklus aquabisnis ? Menurut Hermanto dan Subowo, 2006 membedakan bahwa secara empiris kelembagaan dapat dibedakan, antara lain: (1) kelembagaan sosial nonbisnis yang merupakan lembaga yang mendukung penciptaan teknologi, penyampaian teknologi, penggunaan teknologi dan pengerahan partisipasi masyarakat, seperti lembaga penelitian, penyuluhan, kelompok tani dan sebagainya, dan (2) lembaga bisnis penunjang yang merupakan lembaga yang bertujuan mencari keuntungan, seperti koperasi, usaha perorangan, usaha jasa keuangan dan sebagainya. Kelembagaan sendiri mempunyai arti luas yang mencakup aturan main, kode etik, sikap dan tingkah laku seseorang, organisasi atau suatu sistem. Nah, ke-dua jenis kelembagaan inilah sesungguhnya yang harus menjadi isyu penting dalam upaya menggerakan siklus aquabisnis rumput laut yang berkelanjutan, jika kelembagaan ini mampu berjalan secara efektif sangat mungkin permasalahan yang saat ini masih mendera tidak lagi menjadi penghambat bagi keberlangsungan usaha dari para pelaku.

Melalui kelembagaan maka akan terbangun aturan yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama, hak dan kewajiban anggota, mampu mengatur kode etik, membangun kontrak melalui pola kemitraan yang berkelanjutan, informasi pasar dan teknologi, serta membangun link pasar yang berkelanjutan. Pelaku yang tergabung dalam kelembagaan yang kuat sudah sejatinya akan mempunyai pola pikir yang maju (visioner) serta mampu beradaptasi dalam menghadapi proses dinamika kelompok.

Sejarah menunjukkan bahwa di negara-negara maju, kelembagaan yang baik akan mampu mendorong tumbuh kembangnya kegiatan bisnis dan pembangunan secara umum. Sudah bukan rahasia umum, bahwa aquabisnis rumput laut yang dikelola dengan baik telah memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat baik sebagai modal ekonomi (economic capital) khususnya dalam penyediaan kebutuhan hidup, modal alam (natural capital) dalam penyediaan produk-produk primer, modal finansial (financial capital) pemenuhan kebutuhan akan keuangan, dan modal sosial (social capital) sebagai penyedia lapangan pekerjaan bagi masyarakat pesisir. Ke-lima modal diatas tentunya akan mampu dicapai melalui kerjasama sinergi yang didasarkan oleh rasa tanggungjawab (responsibility), komitmen, kesamaan kebutuhan dan kepercayaan (trust).

Kelembagaan penunjang, misalnya koperasi yang dikelola secara profesional pada kawasan pengembangan budidaya rumput laut akan menjamin pergerakan rantai pasok (suplly chain) pada setiap unit produksi dengan begitu secara langsung akan mempengaruhi terhadap peningkatan efektifitas dan efisiensi jalannya siklus aquabisnis rumput. Pada akhirnya satu-satunya jalan untuk mewadahi hal tersebut di atas adalah melalui pengembangan kelembagaan, sehingga kelembagaan mestinya sudah harus menjadi isyu penting dalam pengembangan aquabisnis rumput laut yang berkelanjutan. Sejatinya sebuah kelembagaan penunjang menjadi unsur penting dalam menjamin perputaran mata rantai siklus aquabisnis rumput laut. Koperasi sebagai bentuk demokrasi ekonomi Indonesia telah terbukti mampu menumbuhkembangkan pergerakan ekomoni masyarakat. Sayangnya, koperasi dibeberapa daerah masih belum mewakili kebutuhan/kepentingan anggota, artinya Ruh koperasi belum tertanam dalam wadah organisasi tersebut. Koperasi yang dikelola secara profesional akan menjamin keberlanjutan usaha yang dijalankan oleh anggota karena secara langsung akan berpengaruh terhadap peningkatan bargaining position hasil produksi, jaminan kualitas, jaminan pasar dan stabilitas harga. Gerakan Masyarakat Sadar Koperasi yang dicanangkan oleh Kementerian Koperasi dan UMKM sangat positif dan perlu diterapkan kuhsusnya pada kawasan pengembangan perikanan budidaya.

Membangun kemitraan usaha yang berkelanjutan

Dalam hal ini penulis perlu menekankan bagaimana kelembagaan menjadi faktor penting dalam membuka peluang membangun kemitraan usaha yang bersifat luas. Karena dalam aquabisnis sendiri interaksi antara subsistem/unit usaha akan berjalan efektif jika pola kemitraan tersebut mampu dibangun secara kuat dan berkelajutan. Dalam siklus aquabisnis peran kemitraan sendiri diibaratkan sebagai “Bahan bakar” yang tentunya akan mempengaruhi pergerakan semua sistem yang ada. Lalu kemitraan yang bagaimana yang akan mampu menggerakan jalannya siklus tersebut,.? Menurut Suwandi, 1995 mendefinisikan bahwa Kemitraan Agrobisnis adalah hubungan bisnis usaha sektor pertanian yang melibatkan satu atau sekelompok orang atau badan hukum dengan satu atau sekelompok orang atau badan hukum dimana masing-masing pihak memperoleh penghasilan dari usaha bisnis yang sama atau saling berkaitan dengan tujuan terciptanya keseimbangan, keselarasan, dan keterpaduan yang didasari rasa saling menguntungkan, memerlukan dan saling melaksanakan etika bisnis. Jika penulis kaitkan dengan aquabisnis rumput laut, maka sejatinya kemitraan usaha tersebut adalah hubungan antara perusahaan mitra dengan pelaku utama (pembudidaya) dalam meningkatkan efektifitas, efesiensi dan produktifitas diseluruh subsistem aquabisnis rumput laut sehingga tercipta nilai tambah dan daya saing produk rumput laut yang dihasilkan.

Bentuk kemitraan usaha yang seringkali dibangun misalnya melalui pola inti plasma maupun CSR (Coorporate Social Responsibility ). CSR sebagai manifestasi peran pihak perusahaan dalam upaya pemberdayaan masyarakat local memang menjadi sebuah keharusan sebagai bentuk tanggung jawab moral yang harus secara langsung dirasakan oleh masyarakat sekitar. Pola CSR dianggap mempunyai dampak yang cukup signifikan dalam upaya mengembangkan potensi suatu daerah. Sehingga perlu adanya upaya dalam mendorong konsep ini agar mampu berjalan terutama pada kawasan-kawasan pengembangan budidaya rumput laut. Sebagai gambaran, Kabupaten Penajam Paser Utara yang nota bene merupakan kawasan pengembangan baru, namun pada kenyataannya telah mampu menunjukkan proses pengembangan kawasan rumput laut yang relatif cepat, dimana kondisi ini tidak terlepas dari pola CSR yang dibangun antara Kelompok dengan perusahaan migas dalam hal ini PT. Cevron. Pola-pola kemitraan serupa hendaknya sudah mulai dikembangkan di sentra kawasan pengembangan budidaya rumput laut. Peran pendampingan dan penyuluhan yang profesional sangat dituntut dalam membangun kelembagaan yang kuat dan mandiri. Penyuluh bukan hanya sekedar menampung permasalahan yang ada, tetapi penyuluh profesional seyogyannya mampu menjadi, mitra, motivator, fasilitator dan dinamisator bagi pelaku utama. Peran advokasi dari penyuluh sangat diharapkan dalam membangun sebuah kelembagaan yang profesional di kawasan pengembangan budidaya.

Jika ke-semua langkah kebijakan di atas mampu dibangun dalam rangka menjamin keberlangsungan siklus aquabisnis rumput laut yaitu melalui kerjasama yang efektif dan bertanggung jawab antar seluruh stakeholders, maka sudah dipastikan akan mampu mewujudkan mimpi besar Indonesia bukan hanya sekedar pemasok bahan baku rumput laut saja, namun mampu menjadikan Indonesia sebagai kiblat industri rumput laut dunia. Semoga,...!!!


*) : Penulis sebagai Analis Budidaya Perikanan pada Direktorat Produksi, Ditjen Perikanan Budidaya

Rabu, 18 Mei 2011

PERAN KELEMBAGAAN DALAM AQUABISNIS RUMPUT LAUT

Oleh : Cocon, S.Pi

Kita tahu bahwa Kegiatan usaha pada sektor Kelautan dan Perikanan khususnya sub sektor perikanan budidaya merupakan kegiatan mikro yang mampu menyentuh peran pemberdayaan masyarakat secara luas dan diharapkan akan mampu menjadi penggerak pilar pertumbuhan ekonomi nasional yaitu Pro-poor, Pro-job, dan Pro-growth , sehingga dalam perjalannya tidak dapat dipungkiri bahwa perlu upaya untuk membangun sebuah siklus aquabisnis yang berkelanjutan. Minapolitan sebagai konsep pengembangan ekonomi kawasan berbasis Perikanan dan Kelautan yang menjadi kebijakan strategis pemerintah saat ini, diharapkan akan mampu mendorong jalannya siklus aquabisnis tersebut. Konsep ini akan berjalan dengan baik jika seluruh aspek penggerak siklus aquabisnis mampu dibangun secara efektif. Pencapaian produksi dan kapasitas usaha akan mampu dicapai jika para pelaku utama maupun pelaku usaha secara ekonomi mampu mencapai titik optimal dari kelayakan usaha. Sedangkan kelayakan usaha tentunya sangat bergantung pada jalannya subsistem-subsistem yang saling berinteraksi mulai dari kegitatan di hulu (on farm) sampai kegiatan di hilir (off farm), hal ini karena keberadaan subsistem dalam siklus yang berjalan secara efektif akan mampu meningkatkan efesiensi produksi.

Pencapaian Produksi Terlampaui, Masalah Rantai Pasok masih mendera

Produksi rumput laut Nasional sampai saat ini memperlihatkan trend kenaikan yang siginifikan sebuah keberhasilan tentunya yang diperlihatkan pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan. Tahun 2010 produksi Nasional mencapai 3.082.113 ton mengalami kenaikan rata-rata sebesar 23% per tahun. Nilai ini mampu melampaui target/sasaran produksi Tahun 2010 sebesar 115,3 % dari target sebesar 2.672.800 ton. Artinya langkah menuju target 10 juta ton di Tahun 2014 sangat optimis tercapai.

Sayangnya pencapaian produksi di atas belum sepenuhnya diimbangi oleh mulusnya perputaran rantai pasok pada sebagian kawasan pengembangan. Kondisi rantai pasok hasil produksi rumput laut masih menjadi permasalahan yang berpotensi menghambat jalannya siklus aquabisnis rumput laut. Kondisi ini secara umum masih terjadi di beberapa kawasan sentral produksi rumput laut. Terjadinya Inkonsistensi yang mencakup Jaminan kontinyuitas penyerapan produksi, stabilitas harga dan jaminan kualitas produksi masih menjadi penghambat mata rantai produksi, dimana fenomena ini terjadi karena masih cukup peliknya permasalahan pasar di level zona I (pembudidaya) dan zona II (pengepul). Kondisi ini ditambah karena belum terbangunnya kesadaran dan komitmen para pelaku dalam melihat permasalahan secara berimbang padahal sesungguhnya jaminan keberlangsungan kegiatan di hulu (on farm) sejatinya tidak bisa lepas dari pengaruh kegiatan di hilir (off farm). Jika kegiatan dihilir terhambat sebagai akibat tidak ada jaminan kualitas dari hulu, lalu bagaimana dengan jaminan penyerapan produk yang dihasilkan pembudidaya,..?. Salah seorang Purchasing Manager di salah satu industri nasional pengolah untuk bahan baku food grade, sempat mengeluhkan perihal jaminan kualitas produksi serta persaingan pasar yang kurang sehat terutama di lokasi budidaya terlebih secara umum harga pasar saat ini dikendalikan oleh para eksportir Dry Eucheuma Seaweed (DES), parahnya lagi masih banyaknya spekulan yang berkeliaran padahal harga tersebut kadangkala melebihi harga normal dan tidak sebanding dengan biaya produksi yang dikeluarkan. Lalu bagaimana dengan jaminan pasokan DES ke Industri ? sudah barang tentu akan terhambat, padahal industri sendiri perlu jaminan kontiyuitas raw material yang sesuai standar, tuturnya.

Penguatan Kelembagaan sebagai solusi

Kenapa Kelembagaan yang penulis tekankan, dan apa pula hubungannya dengan siklus aquabisnis ? Menurut Hermanto dan Subowo, 2006 membedakan bahwa secara empiris kelembagaan dapat dibedakan, antara lain: (1) kelembagaan sosial nonbisnis yang merupakan lembaga yang mendukung penciptaan teknologi, penyampaian teknologi, penggunaan teknologi dan pengerahan partisipasi masyarakat, seperti lembaga penelitian, penyuluhan, kelompok tani dan sebagainya, dan (2) lembaga bisnis penunjang yang merupakan lembaga yang bertujuan mencari keuntungan, seperti koperasi, usaha perorangan, usaha jasa keuangan dan sebagainya. Nah, ke-dua jenis kelembagaan inilah sesungguhnya yang harus menjadi isyu penting dalam upaya menggerakan siklus aquabisnis, jika kelembagaan ini mampu berjalan secara efektif sangat mungkin permasalahan yang saat ini masih mendera tidak lagi menjadi momok menakutkan bagi pelaku usaha.

Kelembagaan mempunyai arti luas yang mencakup aturan main, kode etik, sikap dan tingkah laku seseorang, organisasi atau suatu sistem. Inilah yang menurut penulis faktor kelembagaan menjadi bagian penting dalam upaya menata siklus aquabisnis rumput laut. Hal ini karena tidak dapat dipungkiri ternyata aquabisnis rumput laut masih menyisakan permasalahan baik pada kegiatan hulu (on farm) maupun di hilir (off farm). Jika diibaratkan kegiatan usaha merupakan sebuah rantai, maka kondisi saat ini menunjukkan performa mata rantai yang kurang baik, sehingga antar subsistem belum mampu berjalan dan berinteraksi secara baik dan berkelanjutan.

Jika penulis melakukan pengelompokan maka sebenarnya permasalahan tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor sosial dan ekonomi dari para pelaku. Faktor sosial akan erat kaitannya dengan pola pikir, etika, tradisi, dan prestice sedangkan faktor ekonomi berkaitan dengan kebutuhan dana dan kelayakan usaha. Dalam memenuhi tuntutan tersebut sangat tidak mungkin tercapai jika pelaku berjalan sendiri-sendiri, kondisi ini berkaitan dengan Fitrah manusia sebagai makhluk sosial. Yang jadi pertanyaan bagaimana menjadikan dua faktor tersebut berjalan secara sinergi dan berkesinambungan,..??. Langkah kebijakan yang paling strategis adalah melalui pengembangan kelembagaan baik kelembagaan kelompok maupun kelembagaan penunjang sebagai representasi dari kebutuhan dan aspirasi masyarakat pembudidaya. Melalui kelembagaan maka akan terbangun aturan yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama, hak dan kewajiban anggota, mampu mengatur kode etik, membangun kontrak melalui pola kemitraan, informasi pasar dan teknologi, serta membangun link pasar yang berkelanjutan. Dari semua fenomena yang terjadi, maka akar permasalahan yang sangat penting adalah karena belum terbangunnya sistem kelembagaan yang kuat dan mandiri pada kawasan pengembangan rumput laut.

Sejarah menunjukkan bahwa di negara-negara maju, kelembagaan yang baik akan mampu mendorong tumbuh kembangnya kegiatan bisnis dan pembangunan secara umum. Sudah bukan rahasia umum, bahwa aquabisnis rumput laut yang dikelola dengan baik telah memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat baik sebagai modal ekonomi (economic capital) khususnya dalam penyediaan kebutuhan hidup, modal alam (natural capital) dalam penyediaan produk-produk primer, modal finansial (financial capital) pemenuhan kebutuhan akan keuangan, dan modal sosial (social capital) sebagai penyedia lapangan pekerjaan bagi masyarakat pesisir. Ke-lima modal diatas tentunya akan mampu dicapai melalui kerjasama sinergi yang didasarkan oleh rasa tanggungjawab (responsibility), komitmen, kesamaan kebutuhan dan kepercayaan (trust). Pada akhirnya satu-satunya jalan untuk mewadahi hal tersebut di atas adalah melalui pengembangan kelembagaan, sehingga kelembagaan mestinya sudah harus menjadi isyu penting dalam pembangunan perikanan budidaya yang berkelanjutan

Kelembagaan yang ada masih rapuh

Memang pada beberapa kawasan pengembangan sudah terbentuk sebuah kelembagaan baik Kelompok Pembudidaya maupun kelembagaan penunjang namun jika kita analisa keberadaannya masih sangat lemah. Kerapuhan tersebut secara umum ditunjukkan oleh tidak efektifnya peran kepemimpinan sebagai penggerak dan penyeimbang proses dinamika kelompok, peran advokasi dan pendampingan yang kurang berjalan dengan efektif serta faktor kompetensi sumberdaya manusia yang minim.

Sejatinya sebuah kelembagaan penunjang menjadi unsur penting dalam menjamin perputaran mata rantai siklus aquabisnis rumput laut. Koperasi sebagai bentuk demokrasi ekonomi Indonesia telah terbukti mampu menumbuhkembangkan pergerakan ekomoni masyarakat. Sayangnya, koperasi dibeberapa daerah masih belum mewakili kebutuhan/kepentingan anggota, artinya Ruh koperasi belum tertanam dalam wadah organisasi tersebut. Koperasi yang dikelola secara profesional akan menjamin keberlanjutan usaha yang dijalankan oleh anggota karena secara langsung akan berpengaruh terhadap peningkatan bargaining position hasil produksi, jaminan kualitas, jaminan pasar dan stabilitas harga.

Penulis ambil contoh, sebuah lembaga keuangan mikro lokal yang telah mampu membuktikan efektifitasnya dan diharapkan dapat menjadi contoh bagi kawasan lain, salah satunya adalah Unit Pengelola Keuangan (UPK) Hidayatullah yang ada di Kecamatan Sapeken Desa Tanjung Keok Kabupaten Sumenep. Lembaga yang dikelola secara syariah ini telah mampu menopang keberlanjutan usaha budidaya rumput laut masyarakat sekitar. Peran sentral pelaku di zona II terlihat cukup efektif, sehingga melalui payung kelembagaan ini kegiatan produksi berjalan dengan baik. Bentuk dukungan bukan hanya dalam pendanaan namun yang tidak kalah penting adalah melalui peran pendampingan dan pendekatan moral yang dilakukan secara efektif dan berkelanjutan. Langkah ini sangat efektif karena lambat laun akan menanamkan kepercayaan (trust) sehingga akan mampu membangun ikatan moral yang kuat antar stakeholder, jika ini sudah terbangun, maka permasalahan di atas sudah barang tentu akan mampu dihindari.

Melihat efektifitas peran kelembagaan dalam menjamin jalannya siklus aquabisnis rumput laut, maka sudah saatnya pada seluruh kawasan pengembangan budidaya rumput laut dibangun sebuah kelembagaan yang kuat baik itu kelembagaan non-bisnis maupun kelembagaan bisnis. Kelembagaan penunjang, misalnya koperasi yang dikelola secara profesional pada kawasan pengembangan budidaya rumput laut akan menjamin pergerakan mata rantai (suplly chain) pada setiap unit produksi dengan begitu secara langsung akan mempengaruhi terhadap peningkatan efektifitas dan efisiensi jalannya siklus aquabisnis rumput laut secara berkelanjutan.

Memperkuat Peran Pendampingan dan Penyuluhan di Daerah

Bagaimana membangun kelembagaan,,? Kebijakan yang harus menjadi fokus implementasi adalah peran pendampingan maupun penyuluhan. Peran pendampingan yang profesional sangat dituntut dalam membangun kelembagaan yang kuat dan mandiri. Penyuluh bukan hanya sekedar menampung permasalahan yang ada, tetapi penyuluh profesional seyogyannya mampu menjadi mitra, motivator, fasilitator dan dinamisator bagi pelaku utama. Peran advokasi dari penyuluh sangat diharapkan dalam membangun sebuah kelembagaan yang profesional di kawasan pengembangan budidaya.

Citra diri positif seorang penyuluh perikanan di mata masyarakat pembudidaya sudah saatnya ditanamkan dengan membangun paradigma baru, bahwa penyuluh merupakan “ujung tombak perikanan” sudah sepantasnya mempunyai keunggulan kompetitif dan profesionalisme yang tinggi sebagai mitra pelaku utama terlebih jika dikaitkan dengan visi misi Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk menjadikan Indonesia sebagai penghasil produk perikanan dan kelautan terbesar di dunia Tahun 2015. Perikanan Jaya,..!! Sejahtera Rakyatku...!!!

Minggu, 19 Desember 2010

MENGGAGAS MINAPOLITAN BUDIDAYA DI KEPULAUAN KARIMUNJAWA


OLEH :

COCON. S, S.Pi


Bicara Kepulauan Karimunjawa mungkin tidak asing sebagai wilayah kepulauan yang mempu menyedot perhatian turis domestik maupun manca karena keunggulan sektor parawisata yakni keindahan pantai beserta gugusan pulau yang mengililinginya terutama wisata bahari yang menjadi daya tarik utama. Namun menurut pandangan penulis sektor parawisata belumlah cukup untuk menjadi penggerak ekonomi lokal dan belum mampu menyentuh aspek pemberdayaan masyarakat. Ada potensi lain yang sangat besar dan mempunyai peluang untuk dimanfaatkan secara optimal, yakni sektor kelautan dan perikanan khususnya pengembangan sub sektor perikanan budidaya, yang sampai saat ini nampaknya terkesan dikesampingkan padahal sektor ini sebenarnya yang bersentuhan langsung dengan pergerakan ekonomi masyarakat pesisir. Penulis bukan sengaja ingin mengesampingkan sektor parawisata, namun tentunya jika ke dua potensi ini dikembangkan secara berimbang tentunya mempunyai kekuatan besar untuk meninngkatkan pertumbuhan ekonomi lokal dan regional. Adalah “Raksasa Tidur” merupakan kalimat yang tepat sebagai kiasan bahwa potensi SD Kelautan dan Perikanan yang ada belum dikelola secara optimal

Melihat isue pembangunan saat ini, dimana pemerataan dan pertumbuhan ekonomi merupakan dua target yang secara umum belum mampu dicapai secara sinergi karena terjebak dalam persoalan penentuan pilihan mana dulu yang akan dilakukan terlebih dahulu. Dalam pengembangan wilayah, bahwa pertumbuhan akan sulit terjadi apabila sumberdaya pembangunan disebar pada seluruh wilayah, tetapi akan lebih efektif dan efisien jika ada skala prioritas yaitu dikonsentrasikan pada kawasan – kawasan strategis tertentu yang mempunyai potensi unggulan. Dalam arah kebijakan pembangunan kelautan perikanan jangka panjang tentunya pemerintah daerah (Kabupaten/Kota dan Provinsi) perlu melaksanakan kedua program yakni “pemerataan” dan “pertumbuhan” yang berorientasi pada 3 (tiga) pilar pembangunan yakni Pro Job, Pro Poor, dan Pro-Growth. Mempertimbangkan hal di atas, maka pemerintah daerah perlu segera melakukan kebijakan sebagai upaya percepatan pertumbuhan wilayah. Dari analisa penulis, maka kawasan strategis yang harus segera menjadi perhatian serius adalah Kepulauan karimunjawa yang mempunyai nilai strategis di sektor kelautan dan perikanan, dalam hal ini sub sektor perikanan budidaya yaitu melalui optimalisasi potensi dengan konsep yang disebut “Minapolitan Budidaya”.

Minapolitan secara terminologi berasal dari kata Mina yang berarti ikan dan Politan yang berarti kota, sehingga Minapolitan adalah kota perikanan yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha perikanan. Kota perikanan ini dapat berupa kota kecamatan atau kota pedesaan yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang mendorong pertumbuhan pembangunan perdesaan dan desa-desa hinterland atau wilayah sekitar. Namun demikian batasan suatu kawasan minapolitan tidak ditentukan oleh batasan administratif tetapi lebih ditentukan dengan memperhatikan economic of scale dan economic of scope yang berkembang pada kawasan tersebut dalam hal ini potensi perikanan. Dengan berkembangnya sistem dan usaha minabisnis maka di kawasan minapolitan tersebut tidak saja dibangun usaha budidaya (on farm) namun juga off farm yaitu usaha minabisnis hulu yang meliputi sarana dan jasa penunjang sehingga akan timbul pemerataan kesejahteraan dan pendapatan antar masyarakat, mencegah terjadinya urbanisasi serta tentunya akan menopang pendapatan asli daerah (PAD).

Lalu mengapa penulis memilih Karimunjawa,.. ? seperti yang disampaikan diatas bahwa Kepulauan Karimunjawa mempunyai potensi strategis untuk dikembangkan sebagai kawasan minapolitan budidaya, ini tidak terlepas karena Kepulauan Karimunjawa telah memenuhi beberapa pra-syarat untuk dikembangkan menjadi sebuah kawasan minabisnis, walaupun pada kenyataannya perlu ada interaksi secara sinergi dengan pusat kota di Jepara. Lihat saja secara umum masyarakat pesisir karimunjawa tergantung pada usaha-usaha pada sektor perikanan khususnya sebagai pembudidaya baik rumput laut maupun budidaya fin fish yang mempunyai potensi besar untuk dikembangkan dan terbukti telah mampu menopang ekonomi masyarakat, hanya saja perputaran siklus bisnis belum berjalan secara baik dan sinergi sehingga masih terjadi kesenjangan. Potensi ini tentunya perlu digarap secara optimal melalui konsep yang jelas sehingga sektor perikanan terutama budidaya mampu menggerakan ekonomi lokal secara menyeluruh.

Upaya apa yang perlu dilakukan pemerintah daerah Jepara dalam memuluskan konsep minapolitan budidaya di Kepulauan Karimunjawa, adalah dengan menentukan arah pengembangan meliputi : (1) pemberdayaan masyarakat pelaku minabisnis; (2) Minabisnis komoditas unggulan lokal yang saling mendukung termasuk industri kecil pengolahan perikanan, jasa pemasaran, dan minawisata dll; (3) Menjamin tersedianya sarana produksi dan permodalan; (4) Pengembangan kelembagaan pembudidaya ikan dan penumbuhan pola kemitraan usaha secara berkelanjutan; (5) Pengembangan kelembagaan keuangan mikro; (6) pengembangan kelembagaan penyuluhan perikanan termasuk peningkatan jumlah dan kualitas sdm penyuluh; (7) pengembangan pusat pertumbuhan minabisnis dan industri perikanan lokal (skala rumah tangga); (8) peningkatan sistem pemasaran; (9) pengembangan pendidikan perikanan dan (10) pengembangan penerapan teknologi tepat guna. Terkait Sepuluh point arah pengembangan di atas, kabupaten Jepara sebenarnya telah mempunyai perangkat yang mempunyai potensi besar untuk merealisasikannya. Hanya tinggal pemberdayaan terhadap perangkat tersebut, permasalahannya bagaimana membangun sinergi, komitmen dan tanggungjawab bersama sehingga ego-sektoral tidak terjadi lagi,..? Ini tentunya menjadi pekerjaan rumah bagi semua elemen untuk menyatukan visi, misi dan grand strategi yang sama sebagai upaya untuk mencapai target pemerataan dan pertumbuhan ekonomi wilayah.

Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menetapkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor KEP. 41/MEN/2009 tentang Penetapan Lokasi Minapolitan. Pada tahun ini KKP menetapkan kawasan minapolitan di 197 Kabupaten/Kota di Indonesia, sayangnya Kabupaten Jepara tidak termasuk bagian di dalamnya, ini terjadi karena Pemda Kabupaten Jepara belum mempunyai arah pembangunan perikanan yang jelas. Untuk itu melalui tulisan ini penulis mengajak kepada semua elemen khususnya Pemda Kabupaten untuk menentukan langkah strategis dengan segera menyusun rencana/program jangka panjang pengembangan kawasan minapolitan khususnya di Kepulauan Karimunjawa tentunya melalui kerjasama sinergi secara berjenjang dengan pemerintah provinsi dan pemerintah pusat. Mengingat Kepulauan Karimunjawa merupakan wilayah yang masih terlibat kepentingan lintas sektoral, maka dalam upaya penyusunan program perlu melibatkan sektor lain dalam rangka sinkronisasi sehingga rencana program ini tercantum dalam Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) yang disepakati bersama. Dalam jangka pendek, maka seharusnya DKP Kabupaten Jepara sudah mulai menyusun road map / master plan agar arah pembangunan perikanan terpogram dengan baik sehingga ada skala prioritas dalam melakukan kebijakan serta dalam rangka memberikan gambaran peluang investasi pada Kawasan-kawasan strategis. Memang upaya pengembangan wilayah membutuhkan anggaran besar, namun demikian hal itu tidak perlu menjadi permasalahan utama hal ini tentu demi kesejahteraan masyarakat dan pembangunan ekonomi daerah




Penulis adalah pemerhati perikanan budidaya
Domisili di Jakarta

Sabtu, 30 Oktober 2010

MELIRIK MASA DEPAN RUMPUT LAUT INDONESIA

Oleh :
Cocon, S.Pi
Direktorat Produksi, DJPB


Sub-sektor perikanan budidaya nampaknya akan menjadi barometer pergerakan ekonomi nasional jika dikelola secara optimal. Seiring dengan target pencapaian peningkatan produksi perikanan budidaya yang dicanangkan Kementerian Kelautan dan Perikanan sampai dengan tahun 2014 sebesar 353 %, merupakan nilai yang dianggap oleh banyak kalangan terlalu ambisius. Namun melihat potensi yang ada Indonesia bukan tidak mungkin akan mampu mencapai target tersebut bahkan menjadi produsen perikanan terbesar di dunia. Salah satu komoditas budidaya laut yang paling memungkinkan untuk digarap secara maksimal adalah rumput laut Eucheuma cottoni, tahun ini Indonesia mampu menggeser posisi Philipina sebagai produsen terbesar rumput laut dunia.

Peningkatan Produksi Belum Diimbangi oleh Jaminan Kualitas Produksi

Peningkatan produksi rumput laut masih cukup optimis untuk bisa dicapai mengingat tingginya daya dukung teknis dan potensi kawasan pengembangan yang masih terbuka luas untuk dimanfaatkan. Hanya saja , sampai saat ini siklus aquabisnis rumput laut masih menyisakan masalah yang cukup kompleks antara lain jaminan kualitas produksi DES (dried eucheuma seaweed) di tingkat pembudidaya yang secara umum masih belum memenuhi standar eksport, stabilitas harga yang masih fluktuatif dimana 2 (dua) faktor ini yang menjadi momok bagi keberlangsungan Industri rumput laut. Sebagai gambaran, menurut pengakuan beberapa trader/eksportir rumput laut di Surabaya secara umum mereka mengeluhkan kondisi tersebut dan berdampak terhadap cash flow yang ada. Terjadinya loading stock DES di gudang eksportir dengan kualitas rendah memaksa mereka mengeluarkan biaya operasional untuk melakukan sortir ulang. Tidak dipungkiri bahwa 80% raw material rumput laut dalam bentuk DES kita eksport salah satunya ke China, dimana saat ini China menerapkan standar cukup ketat terhadap produk import DES bukan hanya kadar air tapi juga umur panen dan SFDM (salt free dry matter). Posisi industri China yang mulai selektif inilah yang menjadi masalah tersendiri bagi para eksportir mengingat rendahnya kualiitas DES dari pembudidaya, tidak jarang terjadi loading stock yang berimbas pada penghentian pembelian sementara dari para pembudidaya. Sudah barang tentu kondisi ini berdampak pula pada kegiatan usaha para pembudidaya, inilah yang mengakibatkan fluktuasi harga dan rendahnya posisi tawar DES di tingkat pembudidaya. Menurut analisa saya ada beberapa hal yang menyebabkan permasalahan di atas :

1.Belum terbangun kesadaran di tingkat pembudidaya maupun pengepul lokal terhadap jaminan mutu produk rumput laut yang dihasilkan. Pengelolaan pasca panen yang masih kurang memperhatikan jaminan mutu masih seringkali dilakukan oleh pembudidaya di beberapa lokasi. Fenomena yang terjadi adalah bagaimana produk bisa terserap pasar dengan harga tinggi tanpa mempertimbangkan mutu produk.

2.Rantai dan siklus pasar belum terbangun dengan baik. Di sentra-sentra produksi rumput laut masih seringkali terdapat para spekulan yang merusak stabilitas harga, pola kemitraan yang sudah terbangun antara pembudidaya dengan pelaku usaha menjadi tidak berjalan dengan kehadiran para spekulan. Fenomena yang terjadi para spekulan mengejar target kuota tanpa mengindahkan kualitas produk, padahal harga yang diberlakukan sama atau melebihi harga yang berlaku di pasar lokal. Inilah yang mempengaruhi "mind set" pelaku utama, yang menganggap bahwa kulaitas adalah tidak terlalu penting, toh harga pembelian yang diberlakukan sama dengan rumput laut yang kualitasnya baik. Kondisi ini secara tidak mereka sadari akan mengancam keberlanjutan usaha mereka, karena peran spekulan pada dasarnya muncul secara inseidental, disisi lain pembudidaya sudah kehilangan kepercayaan dari pembeli semula.

3.Belum terbangun pola kemitraan yang kuat secara hukum yang diimbangi dengan kuatnya kelembagaan kelompok secara berkelanjutan. Yang terjadi secara umum kemitraan masih bersifat alamiah dan tidak mengikat sehingga ke dua belah pihak sama-sama tidak mempunyai tanggung jawab dan kontrol yang kuat terhadap jaminan kualitas produk maupun stabilitas harga di pasar.

4.Degradasi kualitas bibit, pada beberapa daerah seperti diakui oleh pembudidaya di Lombok Barat bahwa kondisi bibit sudah cukup memprihatinkan sehingga perlu upaya untuk mengintroduksi jenis bibit baru yang secara kualitas terjamin.

5.Kurangnya peran advokasi dari pelaku pembina di daerah terhadap jalannya siklus bisnis rumput laut.

Faktor di atas yang teridentifkasi menjadi penyebab terjadinya fluktuasi harga dan rendahnya kualitas DES di Indonesia sehingga siklus bisnis rumput laut tidak berjalan semestinya. Beberapa dari kita masih belum seimbang dalam melihat akar permasalahan bisnis rumput laut. Ketidakseimbangan tersebut terlihat dengan adanya persepsi bahwa bagaimana mengupayakan produksi dan harga tinggi di tingkat hulu (pembudidaya ) tanpa mempertimbangkan kondisi yang terjadi di hilir (Industri), padahal pihak industri membutuhkan jaminan mutu produk untuk menjaga stabilitas usahanya. Kondisi ini yang mengakibatkan rantai bisnis rumput laut terhambat.

Klaster Aquabisnis Rumput Laut Sebagai Kunci Sukses

Target pencapaian produksi rumput laut yang menjadi target Kementrian KP sebesar 10 juta ton pada tahun 2014 akan mungkin bisa dicapai, melalui kerjasama dan komitmen semua stakeholder mulai dari pemerintah pusat/daerah sampai pelaku utama secara berkesinambungan. Sejalan dengan itu kebijakan strategis yang dijadikan senjata ampuh pemerintah pusat adalah melalui pencanangan program minapolitan melalui pendekatan klaster. Pendekekatan ini dinilai ampuh dalam mewujudkan pencapaian target di atas. Dalam pengembangan sumberdaya perikanan klaster minapolitan merupakan bentuk pendekatan yang berupa pemusatan kegiatan perikanan pada suatu lokasi tertentu, dengan memberdayakan subsistem-subsistem agrobisnis perikanan dari hulu sampai hilir serta jasa penunjang yang saling mendukung. Konsep inilah yang akan menjamin efesiensi dan efektifitas kegiatan usaha serta akan mampu meningkatkan daya saing produk perikanan.

Pengembangan klaster rumput laut pada hakekatnya lebih mengedepankan kemitraan yang dibangun melalui komunikasi dan implementasi nyata diatara stakeholder secara sinergis dan saling menguntungkan dengan demikian pengembangan ekonomi local melalui aquabisnis klaster rumput laut harus menjadi bagian integral dari upaya pemerintah daerah melalui pemberdayaan masyarakat pesisir, peningkatan daya saing kolektif, penciptaan peluang-peluang baru serta pertumbuhan ekonomi berkesinambungan melalui peningkatan produk sector perikanan dalam hal ini komoditas rumput laut. Pengembangan klaster aquabisnis rumput laut dtekankan meliputi pengembangan beberapa ploting kawasan meliputi zona pembibitan untuk menjamin ketersediaan bibit yang berkualitas, zona budidaya, Zona penanganan pasca panen untuk menjamin kualitas produk DES yang dihasilkan, serta Zona pengolahan/industri.

Sudah menjadi hal biasa bahwa posisi tawar produksi rumput laut pada sentra pengembangan yang sulit dijangkau akan mengalami penurunan dibanding kawasan lain. Kondisi ini biasa terjadi di Wilayah Indinesia bagian Timur seperti Maluku, Papua dan Maluku Utara. Siklus pasar yang begitu melelahkan menyebabkan harga di lokasi menjadi turun drastis, karena memaksa pembeli mengeluarkan biaya tambahan yang cukup tinggi untuk transportasi. Fenomena ini yang kadang-kadang dikhawatirkan menurunkan animo masyarakat pembudidaya terutama bagi mereka yang mempunyai pola pikir yang bersifat instan (un-visible). Padahal kawasan-kawasan tersebut mempunyai potensi pengembangan yang sangat besar. Sejalan dengan kondisi tersebut, maka klaster aquabisnis rumput laut merupakan upaya untuk membangun kawasan budidaya terintegrasi dimana pada kawasan tersebut memugkinkan terjadinya suplly chain dari hulu ke hilir yang efektif dan efisien sehingga akan terjadi peningkatan posisi tawar produk di tingkat pembudidaya.

Dalam mewujudkan klater aquabisnis rumput laut, maka beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti, adalah sebagai berikut :

optimalisasi peran pemerintah daerah

Harus diakui bahwa secara umum konsep klaster aquabisnis rumput laut sebagai kunci sukses belum menjadi perhatian serius pemerintah daerah dan masih dalam tataran wacana. Padahal potensi pengembangan rumput laut sangat besar dan sangat memungkinkan untuk ditingkatkan. Pemerintah daerah perlu segera menyusun regulasi yang strategis termasuk didalamnya penyusunan masterplan, penataan tata ruang wilayah (RTRW) dan penyusunan RPIJM (Rencana Pembangunan Infrastruktur Jangka Menengah) serta dukungan terhadap kemudahan investasi. Hal ini penting mengingat sumberdaya rumput laut merupakan usaha yang menyentuh aspek pemberdayaan masyarakat dan telah menjadi bagian bagi hajat hidup masyarakat serta pendorong pergerakan ekonomi local.

Peningkatan produksi rumput laut akan mampu tercapai jika pemanfaatan potensi lahan dapat ditingkatkan melalui ekstensifikasi untuk menciptakan kawasan-kawasan pengembangan baru. Pemerintah daerah harusnya melihat kondisi ini sebagai sebuah peluang yang perlu digarap secara maksimal melalui penerapkan kebijakan strategis mulai dari pembinaan secara langsung sampai dengan dukungan penganggaran guna mempermudah akses produksi dan pasar secara luas. Penataan dari sisi kelembagaan kelompok maupun penunjang serta infrastruktur seharusnya menjadi tanggung jawab semua pihak baik pemerintah maupun swasta, hal ini penting karena merupakan factor penentu terhadap jalannya siklus bisnis rumput laut maupun perikanan budidaya secara umum.

Potensi SDA rumput laut seharusnya menjadi unggulan daerah dan bisa ditawarkan dengan menggandeng semua pihak. Disamping itu peran Perusahan Daerah (BUMD) sudah saatnya melirik terhadap peluang-peluang bisnis pada sub sector perikanan budidaya khususnya rumput laut sehingga daya tawar (bargaining position) hasil produk akan mampu ditingkatkan. Pemerintah Daerah perlu segera melakukan implementasi akselerasi pembangunan perikanan budidaya secara nyata demi peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir dan pembangunan ekonomi daerah dan nasional.

Perlu pembinaan terhadap peran pengepul/tengkulak

Kaitannya dalam usaha rumput laut Keberadaan tengkulak/pengepul seringkali dinilai kalangan merugikan pelaku utama dan tak sejalan dengan konsep klaster. Namun sesungguhnya tengkulak merupakan asset kluster yang keberadaannya patut untuk didukung. Hal ini karena dalam klaster dikenal zonasi, posisi tengkulak merupakan representasi Zona 2 setelah pembudidaya di Zona 1, sehingga posisi tengkulak tidak masalah karena titik ini akan menjadi mata rantai berjalannya bisnis rumput laut. Hanya saja pemerintah perlu mengadvokasi agar kemitraannya berjalan baik. Peran tengkulak seperti di beberapa daerah pengembangan bukan hanya mensupport permodalan tapi juga berperan dalam menjaga kestabilan harga, kualitas produksi, pergudangan sehingga jalannya siklus terjaga karena sama-sama diuntungkan. Posisi strategis tengkulak dalam rantai distribusi pasar perlu diberdayakan melalui peran pembinaan secara berkelanjutan khususnya dalam rangka menjamin akses pasar dan kualitas hasil produksi, yang saat ini masih menjadi permasalahan utama pada aquabisnis rumput laut di Indonesia. Sehingga peran tengkulak tidak hanya mencari quota produksi sebanyak-banyakknya namun harus bertanggungjawab terhadap jaminan mutu produk DES (dried eucheuma seaweed) yang dihasilkan.

Perlu penguatan kelembagaan dan membangun pola kemitraan yang kuat

Permasalahan siklus pasar bisnis rumput laut pada sentra-sentra produksi disebabkan karena lemahnya peran pembinaan pemerintah daerah dalam membangun kelembagaan kelompok yang kuat dan peran advokasi untuk membangun pola kemitraan yang kuat, legal dan berkelanjutan. Kuatnya kelembagaan kelompok serta terbangunnya pola kemitraan yang kuat akan menumbuhkan kesadaran dan tanggungjawab serta kultur bisnis yang positif antara pelaku utama (pembudidaya) dan pelaku usaha (industri) akan perlunya keseimbangan dalam menata siklus bisnis demi keberlanjutan usaha. Pembudidaya memerlukan jaminan pasar, penyerapan produksi dan stabilitas harga, disisi lain pihak trader/eksportir/industri membutuhkan jaminan kualitas produk dan kontiyuitas.

Peran kontrol pada semua tahapan produksi mutlak harus dilakukan baik oleh pemerintah daerah melalui peran penyuluhan, pengepul maupun pihak mitra usaha dengan menurunkan langsung field advisor yang berperan dalam quality control proses budidaya, pengelolaan pasca panen maupun pergudangan di lokasi budidaya. Jika kondisi tersebut telah terbangun dengan baik, maka upaya pemerintah pusat untuk membangun industri pengolah nasional di sentra-sentra produksi tidak akan mengalami permasalahan yang berarti.

Perlunya Membangun sinergitas

Perlu diakui bahwa terhambatnya siklus bisnis rumput laut karena mata rantai produksi maupun pasar yang tidak berjalan semestinya bahkan terputus pada tahapan tertentu (tidak ada keberlanjutan). Salah satu penyebabnya karena belum terbangun persamaan persepsi, komitmen, tanggungjawab dan kerjasama sinergis diantara stakeholder yang terlibat dalam usaha pe-rumputlaut-an di Indonesia mulai dari pemerintah pusat dan daerah, pelaku utama, pelaku usaha, lembaga/instansi teknis serta lembaga keuangan. Fenomena yang terjadi seringkali masih muncul “ego-sektoral” sehingga implementasi kebijakan dari pemerintah pusat tidak didukung secara penuh, inilah yang mengakibatkan siklus usaha selalu berhenti dalam suatu tahapan tertentu.

Jika kata “Sinergitas” diimplementasikan secara nyata oleh seluruh stake holder, maka sangat optimis Indonesia akan menjadi sentral produksi rumput laut terbesar bukan hanya dari sisi kapasitas produksi melainkan didukung oleh jaminan mutu hasi produk yang berdaya saing tinggi.

Melalui tulisan ini kami berharap, mari bersama-sama mendukung kebijakan pemerintah pusat (Kementerian Kelautan dan Perikanan) dalam mewujudkan visi untuk menjadikan Indonesia menjadi produsen perikanan terbersar dunia demi kesejateraan masyarakat dan kebangkitan ekonomi nasional.

Selasa, 17 Agustus 2010

PANEN RUMPUT LAUT DI TELUK AWUR

Jepara- Panen bersama rumput laut yang dilakukan oleh Kelompok Nelayan Sido Mulyo di desa Teluk Awur pada lahan seluas 2 hektar dinilai cukup memuaskan dilihat dari hasil produksi yang dihasilkan. Menurut Masyudi, Ketua Kelompok yang membawahi anggota sebanyak16 orang mengatakan bahwa dengan bibit awal 3 ton, pada saat panen ini diperoleh 17 ton Rumput laut basah dengan masa pemeliharaan sekitar 45 hari, hasil panen tentunya akan lebih jika pada saat budidaya beberapa waktu lalu tidak terkena dampak ombak besar. Panen sendiri dilakukan dua hari pada hari Sabtu-Minggu (7-8 Agustus, Red.) Rumput Laut yang di panen langsung di timbang dan di beli oleh Investor dari Kudus dengan harga Rp. 1.100 per kilogram. Pengeringan rumput laut dilakukan di tepian pantai teluk awur dengan menggunakan para-para jemur sehingga cukup efektif dan efisien.

Ditambahkan Masyudi bahwa dia memulai usaha budidaya Rumput Laut ini sejak tahun 2009, melalui bimbingan dan pendampingan teknis dari petugas lapang Dislutkan kabupaten Jepara. Ditanya mengenai analisa usaha Rumput Laut, Masyudi juga menuturkan bahwa dari 7 tali rumput laut dengan panjang 100 meter yang dia miliki, diperoleh hasil panen sebanyak 1,2 ton, dengan nilai jual mencapai sekitar Rp. 1.320.000,-. Nilai ini tentunya sangat membantu dalam mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga.

Menurut M. Andri Utama, S.Pi Tenaga Pendamping Teknologi Rumput Laut dari Dislutkan Jepara menyatakan bahwa untuk kawasan teluk awur memiliki kurang lebih 150 hektar lahan yang potensial untuk pengembangan budidaya rumput laut, dari nilai tersebut baru hanya 7 hektar saja yang telah dimanfaatkan. Dengan hasil panen ini membuktikan bahwa sebagian perairan pesisir utara Jepara layak untuk dilakukan usaha budidaya rumput laut. Total pemanfatan lahan di perairan jepara sampai saat ini baru sekitar 27 hektar perairan Jepara (non Karimun Jawa) tersebar di perairan Teluk Awur, Bandengan, Bondo, dan Sekuro. Dia juga menambahkan bahwa saat ini mulai banyak permintaan rumput laut dari luar Jepara, hal ini terkait dengan kualitas rumput laut yang dihasilkan cukup baik.

Adi Sasongko, Msc. Kasie Budidaya Laut Dislutkan Jepara di sela-sela panen menyatakan bahwa kegiatan ini merupakan hasil pola kerjasama kemitraan yang dilakukan oleh CV. Kita Berdikari dengan Kelompok Nelayan Sido Mulyo, serta difasilitasi oleh Dislutkan yang bertujuan untuk pemberdayaan masyarakat nelayan disekitar Pesisir Jepara supaya pelan-pelan dapat beralih pada aktivitas usaha budidaya sehubungan aktivitas penagkapan ikan akhir-akhir ini cenderung mengalami penurunan. "Diharapkan melalui kerjasama ini dapat menimbulkan animo masyarakat pesisir untuk terjun dalam budidaya rumput laut, karena dengan waktu yang relatif singkat dapat dilakukan pemanenan”, ungkapnya.


Menurut Ir. Achid Setyawan C, MSi Kepala Dislutkan Kabupaten Jepara yang ditemui di ruangan kerjanya menyatakan bahwa dengan berhasilnya panen rumput laut ini Dislutkan sangat mendukung Visi dan Misi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang menaikkan produksi sebesar 353%. Beliau juga menambahkan bahwa Rumput Laut Jepara sudah sangat terkenal di luar Jepara, setiap ada pameran/expo yang diikuti oleh dislutkan yang ditanyakan para tamu adalah Rumput Laut, sehingga diharapkan akan meningkatkan animo mayarakat untuk terjun melakukan kegiatan budidaya rumput laut. Ditambahkan pula oleh Kepala Dislutkan, bahwa sejauh ini banyak calon Investor hanya ingin membeli rumput laut kering hasil budidaya, sehingga pemberdayaan masyarakat disini tidak ada, yang Dia harapkan para investor berkerja sama dengan Kelompok dari segi teknis budidaya seperti menyediakan bibit, tali, dan perlengkapan budidaya kepa da kelompok nelayan sehingga ada pemberdayaan masyarakat pesisir Jepara disitu. ”Kami mengharapkan masyarakat pesisir utara Jepara bisa secara bersama-sama memanfaatkan potensi perairan yang ada, sayang jika potensi yang ada kita biarkan begitu saja”, tambahnya.

Diharapkan kedepan perlu upaya strategis melalui perhatian dan implementasi nyata dalam memanfaatkan potensi laut di perairan Jepara. Hal ini penting karena kegiatan usaha budidaya rumput laut merupakan alternative usaha yang secara ekonomi layak dikembangkan pada masyarakat pesisir yang nota bene kehidupan ekonominya jauh tertinggal. Maka dari itu untuk para investor yang akan bekerjasama dengan kelompok di perairan Jepara dapat difasilitasi oleh Dislutkan Jepara.

Posting oleh : M. Andri Utama (dislutkan Jepara)

Jumat, 09 Juli 2010

OPTIMISME POKDAKAN DI PERAIRAN BONDO


Jepara- Senin, 5 Juli 2010, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Jepara Ir. Achid Setiawan C, MSi beserta staff, meninjau lokasi budidaya rumput laut Kelompok Budidaya Perikanan Wahana Karya Samudra dan Kelompok Wahyu Alam di desa bondo RT. 03. RW. 04 Kecamatan Bangsri Jepara, yang saat itu telah dilakukan panen. Panen dilakukan bersama pada lokasi kebun bibit rumput laut milik kelompok yang diketuai oleh Hadi Suyanto dan Junaidi.

Kegiatan panen bibit rumput laut yang dihadiri pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Jepara ini dilakukan pada lahan seluas 2 Hektar. Hadi Suyanto Ketua Kelompok pembudidaya rumput laut “ Wahana Karya Samudra”, yang mengawali kegiatan budidaya rumput laut di perairan Bondo melalui bimbingan dan pendampingan teknis dari petugas lapang Dislutkan kabupaten Jepara. Hadi mengatakan bahwa awal mulanya dia sempat tidak yakin dengan budidaya rumput laut di perairan bondo, tetapi karena keuletan dan kerja keras kelompok serta pendampingan dari Penyuluh dan Tenaga Pendamping Teknologi Dislutkan Kabupaten Jepara maka diperoleh hasil rumput laut yang memuaskan. “Alhamdullilah, meskipun baru memulai kami mampu panen bibit rumput laut dengan hasil yang sangat memuaskan”, Ujar Hadi bangga.

Bibit yang dipanen kemudian dijual kepada pembudidaya rumput laut lain dengan harga Rp. 3.000 per kilo. Junaidi Ketua Kelompok Wahyu Alam menambahkan bahwa kualitas bibit yang ada di Bondo tidak kalah dengan bibit yang berasal dari Karimun Jawa. ”Rumput Laut yang ada di Bondo Thallusnya lebih rimbun dan memanjang” ungkapnya.

Kelompok yang awalnya mendapatkan bantuan modal dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan Perikanan ini, akhirnya bisa memperluas kawasan budidaya yang semula 2 hektar rencananya akan ditingkatkan sampai 5 hektar dengan teknik budidaya menggunakan sistem longline.

Menurut Ir. Achid Setyawan C, MSi Kepala Dislutkan Kabupaten Jepara disela sela menghadiri acara panen menyatakan bahwa dengan berhasilnya panen rumput laut ini diharapkan akan mampu memperkuat anggapan bahwa sebagian perairan Jepara potensial dan layak untuk budidaya rumput laut, selain itu yang terpenting kegiatan panen ini diharapkan akan meningkatkan animo mayarakat untuk terjun melakukan kegiatan budidaya rumput laut. Ditambahkan pula oleh Kepala Dislutkan, bahwa sejauh ini telah ada calon Investor yang serius ingin melakukan kerjasama kemitraan rumput laut dengan kelompok, “ Sampai saat ini pembahasan MoU kerjasama telah disepakati, dimana realisasi akan dilakukan secepatnya. kami mengharapkan masyarakat pesisir utara Jepara bisa secara bersama-sama memanfaatkan potensi perairan yang ada, sayang jika potensi yang ada kita biarkan begitu saja”, tambahnya.

Sejauh ini ploting pengembangan terkonsentrasi pada beberapa kawasan yang tersebar di perairan Teluk Awur, Bandengan, Poncol, Bondo, dan Perairan Mlonggo, dimana perairan tersebut teridentifikasi dan telah terbukti layak untuk dikembang budidaya rumput laut. Total pemanfaatan lahan di perairan pesisir Jepara telah mencapai kurang lebih 16 Ha, dimana saat ini terus dilakukan pengembangan lahan maupun kapasitas lahan lewat kerjasama dengan beberapa Investor yang sudah mulai masuk ke Kabupaten Jepara.

Kendala permodalan seringkali menjadi momok yang menghambat kegiatan usaha budidaya rumput laut khususnya pembudidaya pemula dan skala kecil. Sehingga ke-depan perlu upaya strategis melalui perhatian dan implementasi nyata dalam memanfaatkan potensi laut di perairan Jepara. Hal ini penting karena kegiatan usaha budidaya rumput laut merupakan alternative usaha yang secara ekonomi layak dikembangkan pada masyarakat pesisir yang nota bene kehidupan ekonominya jauh tertinggal. Maka dari itu untuk para investor yang akan bekerjasama dengan kelompok di perairan Jepara akan difasilitasi dan diberi ruang untuk melakukan pengembangan usaha budidaya rumput laut di Perairan Jepara. Upaya ini dalam rangka turut membantu dalam mensukseskan target pencapaian produksi perikanan budidaya khususnya komoditas rumput laut yang telah dicanangkan Kementrian Perikanan dan Kelautan.



Sumber : Suara Merdeka, 7 Juli 2010

Kamis, 10 Juni 2010


LAPORAN PEMBINAAN DAN SUPERVISI
DI KEPULAUAN KARIMUNJAWA KABUPATEN JEPARA
PROVINSI JAWA TENGAH


Oleh : Cocon.S, S.Pi & Saunin
Direktorat Produksi, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya



I.HASIL PELAKSANAAN KEGIATAN

1.1.GAMBARAN UMUM KEPULAUAN KARIMUNJAWA


Kepulauan Karimunjawa yang secara administratif merupakan Kecamatan sebagai bagian dari wilayah Kabupaten Jepara keberadaannya sangat potensial untuk dilakukan pengembangan kawasan perikanan khususnya perikanan budidaya. Dengan Jumlah total pulau sebanyak 27 Pulau (5 pulau berpenghuni) dan mempunyai luas wilayah territorial seluas 107.225 Hektar, sebagian besar berupa lautan (100.105 Ha) sedangkan luas daratannya sendiri adalah 7.120 Ha. Daerah ini beriklim tropis yang dipengaruhi oleh angin laut yang bertiup sepanjang tahun dengan suhu rata-rata 26-30 derajat celcius.

Potensi perikanan khususnya perikanan budidaya di Kepulauan Karimunjawa sangat besar, dengan beberapa komoditas yang bias dikembangkan muali dari Kerapu, teripang dan rumput laut (Eucheuma cottoni). Berdasarkan data potensi lahan untuk budidaya laut menyebutkan bahwa luas lahan potensial pengembangan di Kepulauan Karimunjawa yang meliputi perairan P. Karimunjawa, P. Menjangan Besar, P. Parang dan P. Nyamuk adalah sebesar 7.100 Ha. Lahan ini sangat potensial untuk pengembangan budidaya rumput laut Eucheuma cottoni dan Kerapu (Chromilptes altivelis), tripang dan komoditas budidaya laut lainnya.

1.2.PERKEMBANGAN KEGIATAN BUDIDAYA LAUT

A.Budidaya rumput Laut (Eucheuma cottoni)

A.1. Perkembangan kegiatan budidaya

Kegiatan budidaya rumput laut di Kepulauan Karimunjawa telah berkembang sejak tahun 2000 sampai dengan sekarang dimana sampai saat ini kegiatan usaha budidaya rumput laut menjadi mata pencaharian utama masyarakat pesisir Kepulauan Karimunjawa seiring dengan terjadinya penurunan hasil tangkapan ikan.

Kawasan pengembangan budidaya rumput laut di Karimunjawa dilakukan pada 18 lokasi yang tersebar di Pulau Nyamuk, Pulau Parang, Batu lawang, Tlaga, Mrican, Legon, Jelamun, Cekmas, Nyamplungan, Alang-alang, Legon Buaya, Legon Gopra, Karimunjawa, Pulau Genting, Gon Lele, Sruni dan Kemloko dimana secara umum pembudidaya melakukan penanaman rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii strain Maumerre dan Philipina (cottoni jumbo) dengan kualitas pertumbuhan baik, sehingga tidak heran rumput laut dari Karimunjawa dijadikan sebagai alternative sumber bibit oleh daerah lain diluar Kabupaten Jepara. Beberapa waktu lalu pembudidaya telah mampu mensuplly kebutuhan bibit ke Provinsi Bangka Belitung mencapai 100 ton bibit.

Metoda budidaya yang diterapkan adalah metoda long line dan metode jalur kombinasi, dimana metoda tersebut layak untuk diterapkan sesuai dengan kondisi perairan Karimunjawa.

A.2. Pemanfaatan lahan dan Perkembangan produksi

Pemanfaatan lahan budidaya baru sebesar kurang dari 20 % atau seluas 240 Ha lahan budidaya dari total potensial yang ada. Ini menunjukan bahwa pemanfaatan lahan belum mencover keseluruhan potensi yang ada, sehingga akan menjadi tantangan sekaligus harapan untuk dilakukan pengembangan secara optimal.

Kapasitas produksi pada saat puncak musim tanam mencapai rata-rata 1.500 ton berat basah /bulan dan masih sangat memungkinkan untuk ditingkatkan. Rata-rata kepemilikan lahan per-pembudidaya seluas.1.500 m2 ( 15 line dengan panjang/line 100 m) dari total pembudidaya aktif sekitar 1.200 orang.

A.3. Perkembangan pembudidaya dan kelembagaan kelompok

Total pembudidaya rumput laut aktif di Kepulauan Karimunjawa sampai saat ini mencapai 1200 orang, hal ini seiring dengan animo masyarakat Karimunjawa yang tertarik untuk terjun melakukan usaha budidaya rumput laut.

Kelembagaan kelompok maupun lembaga penunjang belum terwujud dengan kuat, dari sekian banyak pembudidaya hanya sekitar 250 orang yang tergabung dalam kelembagaan kelompok, itupun belum mewujudkan sebagai sebuah kelompok yang kuat dan mandiri. Kondisi ini berbanding terbalik jika dibandingkan pada perkembangan tahun 2005 yang mampu membawa 2 kelompok pembudidaya yaitu Pokdakan Alga Jaya dan Bintang Laut menjadi salah satu juara kelembagaan kelompok tingkat nasional.

Kondisi belum terwujudnya kelembagaan kelompok salah satunya disebabkan kurangnya peran pendampingan secara langsung dari pemerintah setempat. Pada kesempatan ini kami mencoba untuk memberikan pengertian dan membuka wawasan kepada para pembudidaya dan pengepul local akan pentingnya wadah/kelembagaan kelompok maupun kelembagaan penunjang.

A.4. Akses pasar dan kemitraan usaha

Produksi kering rumput laut asal Karimunjawa pada saat keadaan normal mampu mencapai 100-150 ton/bulan, dimana akses pasar meliputi Surabaya, Jakarta dan Semarang kondisi ini didukung dengan mudahnya akses transportasi yaitu melalui pelabuhan penyebrangan Kartini Jepara. Harga yang berlaku untuk saat ini ditingkat pembudidaya sebesar Rp.1000/kg basah (Rp.10.000/kg kering) sedangkan ditingkat pengepul sebesar Rp.11.000/kg kering, sedangkan ditingkat industry dan eksportir sebesar Rp.12.000/kg kering.

Alur distribusi pasar melibatkan pembudidaya, pengepul local, pengepul kota, dan ekportir/pabrik pengolah, namun demikian secara umum hasil produksi dijual melalui ekportir. Kemitraan usaha telah berjalan namum masih bersifat alami dan fleksibel sehingga belum menunjukan adanya pola kemitraan yang bersifat long term. Kemitraan terjalin antara pengepul local dengan pembudidaya, dimana para pengepul local membantu pembudidaya dalam bentuk sarana produksi untuk kepentingan pengembangan, sedangkan pengepul local sendiri menjalin kerjasama dengan para eksportir berdasarkan kesepakatan namun tidak bersifat mengikat.

Munculnya peran spekulan akhir-akhir ini mengancam kemitraan antara pengepul local dengan para pembudidaya. Kondisi ini didukung oleh factor kelembagaan kelompok yang belum terbangun dengan kuat.

A.5. Kualitas produksi

Kualitas produksi rumput laut asal Karimunjawa mempunyai kategori baik dan sesuai dengan standar yang dipersyaratkan eksportir maupun industry. Hasil uji kualitas oleh salah satu industry pengolah di China tahun lalu menempatkan kualitas rumput laut Karimunjawa lebih baik dibanding daerah lain di Indonesia.

Proses penjualan basah dari tingkat pembudidaya memungkinkan untuk melakukan control kualitas di tingkat pengepul local. Hasil pengamatan kami, hamper disemua lokasi terdapat area jemur, packaging dan depo penampungan yang dikelola pengepul local dengan memberdayakan ibu-ibu pesisir. Dimana produk dari pembudidaya akan dikeringkan dan disortir sesuai standar kualitas yang diinginkan eksportir/industry. Kondisi ini cukup menguntungkan, sehingga sangat prospektif untuk membangun kemitraan yang lebih luas dengan Industri pengolah nasional.

A.6. Produktivitas usaha dan tingkat pendapatan

Kegiatan usaha budidaya rumput laut di Karimunjawa telah mampu menopang kebutuhan ekonomi masyarakat local, sehingga usaha budidaya rumput laut menjadi mata pencaharian utama sebagian besar masyarakat. Dengan kepemilikan lahan seluas 1.500 m2, pembudidaya mampu meraup hasil penjualan pada saat normal anatara Rp.1.800.000,- - Rp.2.500.000,-/MT.

1.3.PERMASALAHAN

Tingkat Pengepul lokal

1.Munculnya keberadaan spekulan dari luar karimunjawa yang mengancam kemitraan antara pengepul local dengan pembudidaya, dimana secara umum melakukan stocking (penimbunan) hasil pembelian dari pembudidaya sehingga harga melebihi ambang batas normal harga yang berlaku di pasar.

2.Para spekulan kurang memperhatikan sisi kualitas produksi (mengejar quota) sehingga dikhawatirkan akan menurunkan image baik kualitas rumput laut Karimunjawa.

3.Keterbatasn budget pembelian sehingga mengharapkan kemitraan yang lebih luas dengan industry besar nasional.

4.Kualitas produksi agak menurun karena terkendala musim hujan yang mengakibatkan proses pengeringan yang kurang sempurna (jangka waktu cukup lama)

Tingkat Pembudidaya

 Pada beberapa lokasi rumput laut mengalami kerusakan akibat kompetitor lumut, biasa disebut lumut kutu. Dengan tingkat penyebaran yang cepat menyebabkan rumput laut kurus/kerdil.

1.4. RENCANA TINDAK LANJUT

1.Akan membantu membuat konsep aturan yang akan disepakati oleh semua pengepul local dan pembudidaya mencakup kemitraan usaha, kelembagaan, standar harga, jaminan kualitas serta dalam rangka menghambat peran spekulan yang tidak bertanggungjawab
2.Tindak lanjut kesepakatan tersebut di atas akan membuka peluang guna membangun kemitraan yang lebih luas, bertanggungjawab dan berkelanjutan dengan Industri besar nasional.

1.5.SARAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

 Pemerintah setempat/daerah perlu segera untuk membuat rencana strategis (renstra) yang meliputi pengelolaan sumberdaya rumput laut di kepulauan karimunjawa dengan menyatukan persepsi, komitmen dan tanggung jawab bersama diantara seluruh stakeholder.

 Pemerintah dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Jepara perlu memfasilitasi untuk menata tata kelola pasar rumput laut di tingkat pengepul lokal, langkah awal adalah dengan membangun kesepakatan yang disepakati bersama yang mencakup pengelolaan budidaya , stabilitas harga, jaminan kualitas, system kemitraan berkelanjutan

 Perlu adanya regulasi dari pemerintah setempat untuk menghambat masuknya peran spekulan.

 Peran pengepul local di Karimunjawa sangat sentral dimana keberadaannya sebagai asset, dimana perlu advokasi dan peran regulasi dari pemerintah daerah setempat dalam membangun iklim usaha budidaya rumput laut yang baik, sehingga akan memungkinkan untuk membangun kemitraan yang lebih luas dan berkelanjutan dengan industri nasional mengingat dilihat dari aspek teknis pengelolaannya sudah berjalan dengan baik.

 Perlu peran pendampingan yang intensif dan berkelanjutan baik oleh pemerintah maupun pihak lain yang berkepentingan, hasil identifikasi peran pendampingan dan pembinaan masih belum nampak dirasakan oleh masyarakat pembudidaya. Faktor lain karena kurangnya jumlah SDM penyuluh lapang di Karimujawa.

 Perlu membangun kesamaan persepsi, tanggungjawab dan komitmen mulai dari pelaku usaha dan peran pemerintah setempat (lintas sector) untuk melakukan pengelolaan potensi budidaya laut yang berkelanjutan, sehingga tidak terkesan ada ego-sektoral diantara pemangku kebijakan di Karimunjawa.

 Pemerintah setempat/daerah bisa memfasilitasi pembentukan aturan local (awig-awig) mengenai pengelolaan sumberdaya rumput laut secara berkelanjutan yang disepakati seluruh stakeholder yang terlibat secara langsung dalam alur bisnis rumput laut, dimana regulasi/kebijakan strategis dari pemerintah daerah dalam hal ini Camat dan Dinas Kelautan Perikanan Kabupaten Jepara perlu secara nyata diimplementasikan.